REPUBLIKA.CO.ID, TULUNGAGUNG -- Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tulungagung Supriyono mengkritik sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi. Menurutnya ini menimbulkan persoalan baru karena banyak siswa daerah pinggiran yang berprestasi tidak bisa terakomodasi di sekolah-sekolah unggulan.
"Persoalannya fasilitas pendidikan kita belum merata," kata pria yang juga Ketua DPRD Tulungagung itu, Jumat (21/6).
Ia mengaku cukup banyak mendapat keluhan dari wali murid. Penyebabnya, kesempatan sekolah di sekolah unggulan tidak lagi bisa dinikmati anak-anak didik berprestasi. Masalahnya adalah jarak dan zonasi.
Rumah mereka tak berada dalam zonasi sekolah unggulan atau jarak domisili yang tidak cukup dekat. Akibatnya mereka kalah bersaing dengan calon siswa yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah.
"Diakui atau tidak fasilitas pendidikan di kota dan di pinggiran pasti beda. Mereka minta masalah kualitas pendidikan ini di semua wilayah disetarakan dulu, baru diatur zonasi," katanya.
Supriyono mencontohkan lembaga pendidikan yang ada di daerah pinggiran seperti di Kecamatan Sendang, Pagerwojo, dan Pucanglaban. "Sekolah-sekolah itu disetarakan dulu dengan SMPN 1 Tulungagung, SMPN 2 Tulungagung, dan SMPN 3 Tulungagung, baru zonasi diterapkan penuh. Mereka pantas kecewa karena ingin anaknya bersekolah di tempat yang baik, mereka kan juga bayar pajak," katanya.
Supriyono justru khawatir penerapan sistem zonasi dengan komposisi 90 persen justru akan mencederai masyarakat yang menekankan pada prestasi. Kondisi ini membuat hak warga untuk mendapat pelayanan pendidikan yang baik sesuai amanah Undang-undang Dasar 1945 tidak terpenuhi atau terhambat.
"Komposisi aturan zonasi saat ini idealnya adalah 60 persen berdasarkan zona lingkungan sedangkan 40 persen dari jalur prestasi," katanya.
Supriyono menambahkan sistem zonasi yang saat ini dilaksanakan pada tataran teori memiliki tujuan yang sangat baik. Salah satunya agar sekolah-sekolah pinggiran juga mendapatkan siswa berprestasi. Namun dalam praktiknya menimbulkan polemik serta persoalan di masyarakat.
"Sebetulnya sekolah pinggiran itu tetap bisa dapat siswa dengan kualifikasi nilai yang baik, asalkan sekolah di kota itu secara konsisten dibatasi jumlah pagu dan rombongan belajarnya," kata Supriyono.