Sabtu 22 Jun 2019 11:20 WIB

Pengamat Pajak: Pemerintah Harus Waspadai Risiko Shortfall

Kinerja pajak hanya tumbuh 2,43 persen hingga Mei 2019.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Pelaporan SPT. Wajib pajak melaporkan SPT di Kantor Pajak Pratama Tebet, Jakarta, Jumat (29/3/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Pelaporan SPT. Wajib pajak melaporkan SPT di Kantor Pajak Pratama Tebet, Jakarta, Jumat (29/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menuturkan, pemerintah harus mewaspadai risiko shortfall yang cukup lebar pada penerimaan pajak tahun ini. Apabila tren perlambatan pertumbuhan cenderung sama, realisasi 2019 akan berada di kisaran 89,2 persen hingga 92 persen atau shortfall berkisar Rp 127,86 triliun hingga Rp 170,26 triliun.  

Berdasarkan pemaparan Kementerian Keuangan, Jumat (21/6), realisasi penerimaan pajak hingga Mei 2019 mencapai Rp 496,65 triliun. Ini menunjukkan bahwa kinerja pajak sampai Mei hanya tumbuh 2,43 persen (yoy), melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang tumbuh hingga 14,5 persen (yoy).  

Baca Juga

Yustinus menilai, kinerja pajak ini ditopang oleh PPh nonmigas yang realisasinya mencapai Rp 294,14 triliun yang hanya tumbuh 7,05 persen (yoy). "Melambat juga jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yg tumbuh mecapai 14,25 persen (yoy)," tuturnya melalui siaran pers, Sabtu (22/6).

Pertumbuhan PPh nonmigas sendiri masih ditopang oleh kinerja beberapa jenis pajak yang menunjukkan kinerja baik seperti PPh pasal 25/29 badan. Bahkan beberapa jenis pajak tumbuh double digit seperti PPh pasal 25 OP, PPh pasal 21, PPh pasal 22.

Namun, Yustinus menambahkan, kinerja PPN dan PPnBM justru tumbuh negatif tahun ini. Yaitu, 4,41 persen (yoy) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, 16 persen (yoy).

Untuk penerimaan pajak dari sisi sektoral, kontribusi terbesar masih berasal dari sektor industri pengolahan yakni sebesar Rp 132,35 triliun (28 persen). "Namun, industri ini justru tumbuh negatif  yakni minus 2,7 persen (yoy) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang tumbuh 15,7 persen (yoy)," ujar Yustinus.

Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi hingga Mei 2019 yakni industri transportasi dan pergudangan yang tumbuh 25,1 persen (yoy) dengan kontribusi sebesar Rp 21,24 triliun.

Sementara itu, dari sisi cukai, realisasinya sampai Mei ini mencapai Rp 56,21 triliun atau  mengalami pertumbuhan yang signifikan yakni 58,21 persen (yoy) dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya tumbuh 35,51 persen (yoy).

Dari kondisi yang ada, Yustinus mencermati adanya perlambatan ekonomi. Sekurang-kurangnya laju ekspor yang lebih rendah dan turunnya impor yang memukul penerimaan pajak. "Di samping itu, harga komoditas yang lebih rendah dibanding tahun lalu juga berpengaruh pada penerimaan pajak tahun 2019 ini," ucapnya.

Yustinus menganjurkan pemerintah untuk segera merumuskan strategi dan langkah-langkah konkret dalam mengantisipasi hal ini. Pemanfaatan data internal maupun eksternal, pemeriksaan pajak, law enforcement hinga pengawasan pembayaran masa, perlu ditingkatkan intensitas dan efektivitasnya.

Di saat bersamaan, pemerintah harus mempertimbangkan arahan jelas dari niat menambah insentif pajak bagi dunia usaha. Meski hal ini baik dan diperlukan untuk mendorong pertumbuhan, tetapi harus dipikirkan agar tidak menggerus penerimaan dalam jangka pendek.

Yustinus mengatakan, tidak semua tuntutan atas nama kemudahan bisnis harus dipenuhi. "Hal ini penting untuk menjamin kesinambungan APBN, perekonomian nasional, dan pelaksanaan pembangunan," katanya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement