REPUBLIKA.CO.ID, LONDON— Peran Nahdhatul Ulama dan Muhamadiyah dalam memberantas ekstrimisme dan radikalisme menggaung di Eropa, dalam seminar yang bertajuk The Role of Civil Society in Facing Radicalism in Indonesian Society.
Wakil dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia menjelaskan upaya yang dilakukan dalam memberantas radikalisme di Indonesia.
Fungsi Pensosbud KBRI Oslo, Nina Evayanti, kepada Antara London, Jumat (22/6) mengatakan seminar diadakan kerja sama antara KBRI Oslo dan Oslo Metropolitan University berlangsung pada Rabu lalu, (19/6).
Dari NU paparan disampaikan Ketua PBNU, KH Marsudi Syuhud. Sementara dari Muhammadiyah paparan disampaikan Abdul Mu’ti, Sekjen PP Muhammadiyah. Selain dua tokoh ini, juga hadir Direktur Wahid Institute, Yenny Wahid dan Profesor Elisabeth Eide dari Oslo Metropolitan University bergabung dalam panel pembicara di sesi tanya jawab.
Dubes RI untuk Norwegia merangkap Islandia, Todung Mulya Lubis, saat membuka seminar menyampaikan NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi yang memiliki pengaruh besar di Indonesia.
Saat ini jumlah anggota NU sekitar 60 juta dan Muhammadiyah sekitar 40 juta. Kalau ditotal berarti jumlahnya sekitar 38,46 persen dari total penduduk Indonesia.
“Dengan persentase yang cukup besar tersebut, peran kedua organisasi ini memiliki arti penting sebagai kekuatan untuk menjaga keutuhan NKRI”, ujar Dubes Mulya Lubis.
Lebih lanjut Mulya mengatakan kekuatan sebuah negara sangat dipengaruhi kekuatan masyarakat sipilnya. Kalau masyarakat sipilnya kuat maka otomatis akan kuat pula negaranya. Untuk itu NU dan Muhammadiyah punya andil besar untuk menjaga masyarakat sipil Indonesia yang toleran dan berkemajuan.
Pada seminar ini, Kia Marsudi menjelaskan konsep Islam Nusantara yang merefleksikan Islam moderat. Konsep Islam Nusantara yang mempromosikan nilai-nilai dasar Islam seperti jalan tengah (tawasuth). berkeseimbangan (tawazun), dan toleransi (tasamuh) merupakan norma yang dapat ditumbuhkembangkan untuk memelihara perdamaian dan persatuan bangsa Indonesia di tengah kemajemukan yang sangat kompleks.
Disisi lain Mu’ti menjelaskan meskipun menggunakan pendekatan berbeda, Muhammadiyah juga mengenalkan konsep Muslim yang moderat, damai, dan makmur. Menurutnya setiap Muslim memiliki tangung jawab terhadap pribadinya, masyarakatnya dan negaranya.
(ilustrasi) logo nahdlatul ulama
“Sebagai individu, setiap Muslim bebas menjalankan amal ibadah sesuai ajaran yang diyakininya. Namun harus diingat bahwa kebebasannya itu juga dibatasi dengan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Dia harus tunduk pada norma sosial masyarakat serta hukum positif yang diatur oleh negara”, ujar Mu’ti.
Sementara Yenny Wahid, pada sesi tanya jawab menyinggung peran NU dan Muhamadiyah dalam mengkonter fenomena hoaks dan fake news yang marak di sosial media.
Menurutnya, tantangan besar organisasi masyarakat Indonesia saat ini adalah bagaimana memainkan peran lebih besar di sosial media. Dalam hal ini, NU dan Muhammadiyah dituntut bisa membuat kontra narasi dan kontra identitas untuk menangkal berbagai hoaks dan pemberitaan keliru di media sosial.
Dia menyebutkan anak muda sekarang semangatnya menjadi pahlawan. Untuk menjadi hero mereka cenderung mencari enemy. “Tugas kita adalah mendorong mereka untuk menemukan identitas yang tepat, sehingga mereka bisa menentukan dengan benar siapa yang patut dijadikan musuh dan siapa hero sesungguhnya,” ujarnya.
Yenny menyebutkan meskipun kelompok radikal jumlahnya tidak banyak tapi heboh, dan bisa menguasai media (noisy minority). Sementara mayoritas Muslim Indonesia saat ini lebih cenderung tenang dan diam (silent majority) menjalankan rutinitas sehari-hari. Sehingga pengaruh kelompok mayoritas ini di media sosial belum terlalu besar. “Sudah saatnya kita berfikir untuk mentransformasi silent majority untuk bisa menjadi noisy majority,” tutur dia.