REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa tragis Kebakaran pabrik korek api merupakan kecelakaan kerja dengan korban massal yang kesekian kalinya dalam beberapa tahun belakangan. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) mendesak adanya pembenahan secara sistematis terkait dengan kecelakaan dan keselamatan kerja, terutama di industri dengan risiko tinggi.
“KPBI mengucapkan turut berbela sungkawa pada para korban kebakaran pabrik korek api di Binjai, Sumatra Utara,” ujar Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (22/6).
Beberapa tahun belakangan, telah terjadi kecelakaan kerja dengan korban tewas mencapai puluhan. Pada 2015, kecelakaan di PT Mandom Indonesia di Bekasi, menewaskan 22 orang, dan pada 2017 kebakaran di pabrik kembang api PT Panca Buana Cahaya Sukses di Tangerang, menewaskan 49 orang.
Pertama, KPBI menegaskan bahwa mayoritas dari 30 korban para pekerja rumahan yang menjadi korban pabrik korek api di Binjai, adalah buruh. Maka dari itu, mereka harus mendapatkan perlindungan hukum yang jelas. “Ini termasuk pemenuhan hak-hak para buruh korban kecelakaan fatal tersebut, sebagaimana layaknya buruh yang ada di sektor formal di pabrik,” kata Ilham.
Kedua, KPBI melihat ada persoalan dalam pengawasan terhadap industri. Tragedi di Tangerang dan Binjai memiliki kemiripan, karena produksi barang berbahaya bisa terjadi di rumah atau dalam industri rumahan. Produksi korek api dan kembang api memiliki aspek pengelolaan bahan berbahaya dan beracun sehingga tidak boleh berada di kawasan perumahan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 142 tahun 2015 tentang Kawasan Industri.
Ketiga, kecelakaan kerja dengan korban massal terjadi karena adanya kelalaian dalam bidang pengawasan ketenagakerjaan. Ujung-ujungnya, terjadi kelalaian pada kesehatan dan keselamatan Kerja yang mengorbankan buruh.
KPBI melihat pengawas semestinya mampu mencegah kecelakaan kerja dengan jumlah massif dengan wewenang yang dimilikinya. Permenaker Nomor 33 tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan, mengizinkan pengawas ketenagakerjaan memasuki tempat kerja tanpa pemberitahuan sekalipun, bebas melakukan penyelidikan, dan hak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi di pabrik, tempat kerja, atau metode kerja, yang merupakan ancaman bagi kesehatan atau keselamatan pekerja.
Buruh merasa alibi kekurangan pengawas ketenagakerjaan adalah alasan usang yang terus-menerus didaur ulang pemerintah. Jika pemerintah memiliki kemauan politik, pemerintah dapat menambah anggaran guna menggenjot jumlah pengawas ketenagakerjaan. “Terakhir, KPBI mendesak adanya pemidanaan pada pengusaha dan pengawas ketenagakerjaan yang bertanggung jawab atas kecelakaan ini. Pemidanaan ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera. Dengan begitu, efek jera akan mengurangi peluang tragedi serupa terjadi ke depan,” jelas Ilham.
Hukuman pidana penjara diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban. Dalam Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan soal kelalaian yang bisa menyebabkan kematian orang lain. Dalam aturan itu disebutkan, siapa pun yang karena kesalahannya menyebabkan kematian orang lain, maka bisa dihukum penjara paling lama lima tahun. Dalam hal ini, pengusaha yang tidak memberikan alat pelindung diri, tidak menerapkan manajemen K3 dengan benar, dan pengawas ketenagakerjaan yang tidak menjalankan fungsinya, dapat diduga melanggar pasal tersebut.