REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak sudah cerita yang terjadi di Ibu Kota Jakarta dalam berbagai masa atau zaman hingga hari ini. Alias sejak kelahirannya pada 492 tahun yang lalu.
Mulai dari zaman penguasaan Kerajaan Padjadjaran yang bercorak Hindu-Buddha dengan nama Sunda Kalapa. Lalu penaklukan kawasan ini pada 22 Mei 1527 oleh Kesultanan Demak melalui panglimanya Fatahillah yang membangun kota Jayakarta dan akhirnya ditetapkan sebagai hari lahir kota pesisir utara Jawa ini. Hingga memasuki zaman kolonial ketika kota ini berada di bawah kekuasaan kongsi dagang Belanda VOC dan Kerajaan Belanda.
Belanda yang kala itu mengganti nama kawasan ini menjadi Batavia, akhirnya pergi setelah Jepang datang pada 1942 dan dimulailah penggunaan kosakata Jakarta menjadi nama kota ini menembus zaman hingga sekarang.
Sejak masa kemerdekaan, pembangunan kota yang akhirnya menjadi ibu kota negara Indonesia ini, terbilang sangat pesat dan masif dengan jasa para pemimpinnya yang disandang oleh seorang gubernur, walau diwarnai dengan berbagai kejadian besar seperti pergantian orde lama ke orde baru dan juga ke era reformasi. Dari deretan nama gubernur yang menjadi pemimpin ibu kota, tersemat nama-nama kontroversial di dalamnya
Mulai dari karena kebijakan-kebijakannya yang melegalkan tempat hiburan malam dan mendirikan lokalisasi prostitusi serta menarik pajaknya untuk pembangunan seperti Ali Sadikin (Bang Ali). Atau kontroversial dalam karakternya yang dinilai memiliki gaya bicara terlalu keras seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Di antara nama gubernur kontroversial, ada satu nama yang tak kalah kontroversial. Adalah Sutiyoso yang juga tak surut kontroversial, terutama karena berbagai kebijakannya yang kerap mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat seperti penutupan lokalisasi Kramat Tunggak, pemagaran Monas, pelarangan rokok di jalan hingga Transjakarta.
Dari Barak ke Balai Kota
Berangkat dari latar belakang prajurit pasukan khusus dengan jabatan sebagai Wakil Komandan Jenderal Kopassus (1992-1993), Sutiyoso kemudian dipromosikan menjadi Kepala Staf Kodam Jaya dan selanjutnya jadi Panglima Kodam Jaya pada periode (1993-1997). Sutiyoso akhirnya terpilih untuk memimpin ibu kota pada 1997 menggantikan Soerjadi Soedirdja.
Saat ditugaskan menjadi gubernur itulah, ketahanan banting Sutiyoso diuji. Pasalnya setelah bertahun-tahun berkarier di militer, suami dari Setyorini, ini harus menghentikan karier militernya di usia 52 tahun atau enam tahun lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya.
"Ini paling ngenes ya, ketika orang lain pensiun usia 58, saya itu belum waktunya, masih ada waktu enam tahun, namun saya tetap menjalankan penugasan saya dan bertekad melakukan yang terbaik," kata Sutiyoso.
Bukan hanya pergolakan batin karena harus pensiun dini dari tugas kemiliteran, penunjukan dirinya sebagai nakhoda ibu kota harus juga mengubah cara berpikir dan bertindaknya 180 derajat. Pasalnya, ketika berada dalam unit pasukan khusus yang dilatih untuk akrab dengan bahan peledak, menghancurkan tempat strategis seperti gedung-gedung, jembatan penghubung logistik, hingga melakukan pembunuhan secara senyap ataupun secara terbuka, hal itu berubah drastis ketika dirinya menjadi seorang pejabat sipil yakni gubernur.
"Setelah jadi gubernur di pemerintahan sipil ini, adalah habitat yang kontradiktif, saya harus membangun jembatan layang, gedung yang memang dibutuhkan pemerintah sampai mengurus orang mulai dari di dalam perut ibunya, kemudian bayi itu akan sekolah di mana, ketika dewasa mencari pekerjaan bagaimana kerjanya jika sakit di mana rumah sakitnya, sampai dia meninggal di mana kuburannya itu jadi urusan saya," kata Sutiyoso.
Alih-alih lambat dalam beradaptasi dari militer ke pejabat sipil, ternyata tugas kemiliteran yang lama diembannya dalam bidang intelijen dengan keharusan berbaur dan bergaul bersama mahasiswa, ulama, tokoh masyarakat hingga masyarakat sipil biasa, membantunya dalam beradaptasi untuk menjadi gubernur. Akan tetapi, satu masalah yang dialami Bang Yos (sapaan akrab Sutiyoso) saat awal-awal menjadi gubernur, yakni menghilangkan kesan "sangar" di raut wajahnya ketika harus bertemu dengan masyarakat sebagai pejabat publik.
Bahkan, karena hal ini juga, membuat Bang Yos panas kuping karena terus-menerus mendapat koreksi dari kakak tertuanya, Soeparto Tjitrodihardjo, yang merupakan mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah dan mantan Ketua DPRD Jawa Tengah tersebut. "Aku lihat di TV itu, penampilanmu masih sangar, cobalah untuk senyum kalau ketemu orang," kata Soeparto yang ditirukan oleh Bang Yos.
"Aku sudah coba," ujar Bang Yos saat membalas koreksi dari kakak sulungnya tersebut. Kurang lebih satu tahun Bang Yos harus belajar dan menerima koreksi dari kakak sulungnya tersebut hingga akhirnya dia bisa melakukannya secara natural.
Gubernur lima Presiden
Diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 6 Oktober 1997, Sutiyoso dikaitkan dalam isu tak sedap mengenai Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli). Pasalnya saat itu dirinya menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kodam Jaya) dari tahun 1996 hingga 1997.
Namun Bang Yos menghadapinya dengan sikap biasa saja dan cenderung acuh, karena baginya hal tersebut merupakan dinamika dalam perpolitikan. "Waktu itu gubernur dipilih oleh DPRD, dan dicalonkan oleh panglima ABRI dari unsur sipilnya dua dari militer dua yakni saya dan Pak Ahmad. Tentu saja yang kalah itu akan berlawanan dengan kita itu biasa bagi saya. Setelah jadi, waktu itu saya tidak perduli kamu memilih siapa, kamu tetap rakyat Jakarta perlakuannya sama jadi masalah itu hanya sekilas saja tidak menentukan sikap saya," ujarnya.
Belum genap satu tahun menjabat Gubernur DKI, meletuslah gerakan reformasi pada 1998 hingga akhirnya menumbangkan orde baru dan memunculkan pemerintahan baru di era reformasi. Sutiyoso dihadapkan pada situasi mencekam dan berefek langsung pada kehidupan di Jakarta.
"Ibaratnya selama ini diborgol, mulut diplester, ketika akhirnya terbebas ada orang yang salah dalam menterjemahkan reformasi. Seakan-akan reformasi yang ditandai dengan pemerintahan demokratis itu semuanya boleh, jarah sana-sini. Tentu saja ini amat berat, apalagi di Ibu Kota negara yang merupakan potret Indonesia di internasional karena kantor-kantor Dubes kan ada di Jakarta," ucapnya.
Bahkan, Sutiyoso menceritakan sempat satu hari dalam tahun 1998, ada satu utusan Dubes negara sahabat mendatangi kantornya. Ia mengancam secara halus bahwa mereka akan angkat kaki dari Jakarta jika keadaan tidak segera pulih atau ditanggulangi.
Akhirnya, Sutiyoso yang kala itu merupakan ketua Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) DKI Jakarta, mengumpulkan semua pemangku keamanan ibu kota seperti Pangdam Jaya, Panglima Koarmabar (AL) dan Panglima Koopsau I (AU).
"Misi saya waktu itu, adalah agar Jakarta bertahan dan berfungsi sebagai Ibu Kota negara dan para duta besar bisa kita jamin. Alhamdulillah saat itu kita bisa bertahan dan cepat pemulihan," ucap Bang Yos.
Meski diterpa isu keterlibatan dalam kasus Kudatuli, kemungkinan besar karena mampu beradaptasi dan keberhasilannya secara relatif menjaga situasi Jakarta, Bang Yos bisa bertahan menjadi Gubernur selama lima tahun (hingga 2002). Bahkan Bang Yos kembali terpilih pada periode berikutnya hingga 2007 yang artinya menjabat Gubernur dalam kepemimpinan lima presiden yakni Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Hal itu juga, bahkan membuatnya mendapatkan penghargaan dan tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). "Mungkin Sutiyoso adalah satu-satunya gubernur di Indonesia atau bahkan dunia yang menjabat sebagai gubernur di era lima presiden berbeda dan hal tersebut patut diapresiasi," ujar Sutiyoso yang menceritakan bagaimana Jaya Suprana menuliskan dirinya dalam buku MURI.
"Namun saya pikir itu bukanlah prestasi kalau pemerintahan gonta-ganti, itu artinya pemerintahan kita lagi labil kan gantian nya pun empat presiden itu tidak wajar semua kecuali SBY yang dipilih langsung. Kan pasti dampaknya sangat terasa di Ibu Kota karena ini kan pusat pemerintahan," ucapnya.
Selain tercatat dalam album MURI, Sutiyoso juga mendapatkan gelar kehormatan (Honoris Causa) dari Universitas Busan atas presentasinya mengenai manajemen krisis dalam merehabilitasi suatu kota berpenduduk besar di hadapan para pemimpin ibu kota dunia di Seoul, di periode kepemimpinannya sebagai Gubernur Jakarta.