REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Tata Usaha UPK PBB (Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Syaiful Amri menolak jika kuliner Betawi dianggap hilang ditelan zaman. Menurutnya, ada banyak masyarakat yang masih melestarikannya.
"Kendalanya adalah bahan baku yang kadang jarang," tutur Syaiful kepada Republika.co.id, Ahad (23/6).
Sebagai cagar budaya betawi, Setu Babakan juga berfungsi untuk melestarikan makanan khas Betawi. Ada beberapa makanan khas Betawi yang ada di Setu Babakan, diantaranya:
Dodol Betawi
Makanan yang bertekstur kenyal tersebut dapat ditemukan di sekitar Setu Babakan. Menurut salah satu Penjual Dodol Betawi, Ridwansyah (29 tahun) ia biasanya berjualan dodol di hari Sabtu-Ahad.
Ridwan berjualan Dodol Betawi langsung dari kenceng. Ia menceritakan, bahan dodol merupakan campuran dari beras ketan, santan, gula aren, dan gula pasir. "Untuk buatnya, dodol diaduk sekitar 8 jam," ujarnya.
"Kami jual per kilo dengan harga Rp 80 ribu. Untuk rasanya ada rasa durian, ketan hitam, dan original," kata Ridwansyah.
Bir Pletok
Menurut pengakuan salah satu penjual Bir Pletok, Nurjanah (24 tahun), minuman yang satu ini disebut Bir Pletok karena ketika dimasak berbunyi pletok-pletok. Ia menceritakan, bagi yang belum pernag merasakan bir pletok. Mereka akan menganggap minuman tersebut adalah jahe.
"Padahal minuman rempah. Bahan bakunya ada jahe, sereh, daun jeruk, daun pandan, cengkeh, kayu manis, biji pala, kapulaga, lada, secang, gula, dan air. Jadi semuanya direbus gitu. Bunyinya pletok-pletok, makanya namanya bir pletok," kata Nurjanah.
Ia menerangkan, seiring berkembangnya zaman. Nurjanah juga menjual bir pletok dalam bentuk serbuk saset.
Kerak Telur
Berdasarkan pengakuan salah satu penjual kerak telur, Tegar (50 tahun), kerak telur pada mulanya merupakan makanan orang marjinal. "Jadi dulunya, gimana caranya punya satu telur tapi bisa dimakan rame-rame," ujar Tegar.
Tegar juga tidak mengetahui penyebab kerak telur dikonsumsi masyarakat banyak. Ia biasanya menjual kerak telur dengan harga Rp 20 ribu. "Saya jualan kayak gini karena pertama masih laku. Kedua, karena saya merasa memiliki budaya Betawi. Jadi saya harus ikut menjaganya," ungkapnya.