REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja neraca perdaagangan Indonesia pada Mei 2019 mengalami perbaikan dibanding dengan bulan sebelumnya. Sebab, pada periode tersebut, neraca perdagangan Indonesia mencapai surplus 207,6 juta dolar Amerika Serikat (AS). Sementara neraca nonmigas surplus 1,18 miliar dolar AS, neraca migas masih defisit 977 juta dolar AS.
Namun, Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, kondisi surplus tersebut belum menunjukkan kinerja neraca perdagangan yang ideal. Jika dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, kinerja ekspor Indonesia cenderung mengalami penurunan.
"Harusnya, kalau ideal, ekspornya naik dan impor turun," ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (24/6).
Sedangkan, menurut catatan BPS, kinerja ekspor maupun impor pada Mei 2019 sama-sama mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu atau secara year-on-year (yoy). Penurunan ekspor mencapai 1,45 miliar dolar AS atau 8,99 persen. Sementara itu, kinerja impor turun 3,13 miliar dolar AS atau sekitar 17,71 persen.
Tidak hanya itu, secara akumulatif periode Januari hingga Mei 2019 pun, kinerja ekspor dan impor mengalami penurunan dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu. Sementara nilai ekspor turun 6,45 miliar dolar AS atau 8,61 persen, nilai impor turun 7,18 miliar dolar AS atau 9,23 persen.
Suhariyanto menjelaskan, upaya menggenjot ekspor masih harus terus dilakukan pemerintah meskipun tidak mudah. Pasalnya, terdapat beberapa faktor eksternal yang menjadi penghambat kinerja ekspor. "Misal, perang dagang dan harga komoditas yang fluktuatif dan cenderung menurun," tuturnya.
Perang dagang antara Amerika dengan Cina berdampak terhadap pelemahan ekonomi di kedua negara yang tercatat sebagai tujuan utama ekspor Indonesia itu. Negara lain juga terkena imbas seperti Singapura yang masih menjadi pangsa pasar besar bagi komoditas Indonesia. Apabila pertumbuhan ekonomi mereka melemah, berarti tingkat permintaan terhadap barang-barang pun juga akan menurun.
Sementara itu, harga komoditas yang menunjukkan tren menurun turut memberikan dampak. Misalnya saja minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) yang mengalami penurunan harga hingga 14,7 persen pada periode Januari sampai Mei 2019 dibanding dengan tahun lalu. Hal ini berdampak pada penurunan total nilai ekspor CPO Indonesia hingga 17,89 persen, meskipun volume ekspor sawit meningkat 7,9 persen.
Oleh karena itu, Suhariyanto menuturkan, Indonesia perlu melakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor Indonesia. Di sisi lain, diversifikasi negara tujuan ekspor juga terus dilakukan.
"Ekspor juga harus dibuat lebih kompetitif dengan memberikan insentif, perbaikan logistik dan sebagainya," ucapnya.
Tidak hanya itu, pengendalian impor juga perlu dilakukan. Menurut Suhariyanto, upaya ini lebih efektif dibanding dengan meningkatkan kinerja ekspor mengingat kondisi ekonomi global yang masih dirundung ketidakpastian.