REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mencopot Kepala Lapas Kelas II B Polewali Mandar, Haryoto. Alasannya, kebijakan Kalapas dengan mengharuskan napi dapat baca Alquran sebagai syarat bebas bersyarat dianggap telah memicu kericuhan dan bertentangan dengan UU.
"Iya sudah ditarik orangnya ke kanwil," ujar Yasonna di Kompleks Istana Presiden, Senin (24/6).
Seperti dilansir Parepos, ricuh sempat terjadi di LP tersebut pada Sabtu (22/6) sekitar pukul 07.00 Wita saat dilaksanakan apel pagi. Sejumlah narapidana marah dan mengamuk sambil merusak fasilitas dan memecahkan kaca jendela lapas.
Awak media dilarang masuk dengan alasan keamanan. Haryoto mengatakan, kericuhan bermula dari seorang napi mempertanyakan tentang pembebasan satu rekan mereka yang sudah selesai masa tahanan. Namun pembebasannya ditunda dengan alasan belum mampu menghapal bacaan Alquran.
"Napi inisial M belum bisa bebas karena yang bersangkutan belum dapat menghafal Alquran. Sementara salah seorang napi berinisial R dinyatakan bebas karena penuhi syarat. Inlah yang buat mereka marah," kata Haryoto dilansir Parepos.
Haryoto mengungkapkan, Lapas Polewali telah menerapkan sebuah program berbasis agama. Setiap napi yang sudah sampai sepertiga masa tahanan bisa bebas asa mampu hafal Alquran minimal 10 surat pendek dan lancar membaca Alquran bagi Muslim. Tujuannya agar napi setelah bebas dapat diterima oleh masyarakat dan supaya lebih baik.
Namun Yasonna menilai aturan baru yang diterapkan di Lapas Polewali Mandar tersebut terkesan memaksakan. Sebab, narapidana yang telah memenuhi syarat secara undang-undang seharusnya bisa bebas. "Bahwa tujuannya itu baik, iya. Tapi membuat syarat, itu melampaui UU. Kalau nanti dia nggak khatam-khatam walaupun secara undang-undang sudah lepas kan nggak bisa. Tujuannya baik, tetapi memaksakan dengan cara begitu kan nggak boleh, akhirnya memancing persoalan," kata dia.
Selanjutnya, Yasonna mengatakan Kemenkumham akan memberikan arahan agar tak ada aturan atau kebijakan yang berlebihan di setiap lapas. "Iya nanti ada rakernis dan pengarahan supaya tetap SOP-nya jalan. Jangan berlebihan," kata dia.
Anggota Komisi DPR RI Komisi III Al Muzzammil Yusuf tak sepaham dengan Yasonna. Ia justru mendukung syarat tersebut karena mampu merangsang narapidana untuk belajar agama Islam. Muzammil membantah jika penerapan syarat itu malah menciptakan ketidaknyamanan di kalangan narapidana.
"Saya tidak percaya kalau syarat mampu membaca Alquran itu membikin keonaran di tengah penghuni lapas yang Muslimin," katanya pada wartawan, Senin (24/6) malam.
Politikus PKS tersebut merasa penerapan syarat baca Alquran bukan suatu kewajiban bagi narapidana, melainkan sebagai langkah maju agar narapidana mau belajar Alquran. "Saya kira syarat itu lebih sebagai stimulus agar mereka mau belajar, ketimbang sebagai syarat mutlak," ujarnya.
Walau begitu, menurutnya wajar bila kebijakan tersebut menuai polemik hingga penolakan. Sebab, ia mengakui ada pihak-pihak yang tak ingin agama Islam punya pengaruh kuat di Lapas. "Tapi kalau syarat itu membuat enggak nyaman sebagian pihak mungkin saja. Karena dikhawatirkan akan ada Islamisasi Lapas," ucapnya.