Rabu 26 Jun 2019 11:00 WIB

PBB: Dunia Alami Apartheid Iklim

Orang kaya bisa membayar untuk keluar dari efek pemanasan global.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ani Nursalikah
Pengunjuk rasa dari kelompok Extinction Rebellion memblokir jalan di sekitar Parliament Square di London, Rabu (24/4). Mereka memprotes kebijakan pemerintah tentang perubahan iklim.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Pengunjuk rasa dari kelompok Extinction Rebellion memblokir jalan di sekitar Parliament Square di London, Rabu (24/4). Mereka memprotes kebijakan pemerintah tentang perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pelapor Khusus untuk Kemiskinan dan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Philip Alston mengatakan, saat ini dunia berada di jalur "apartheid iklim". Apartheid yang ia maksud adalah orang-orang kaya dapat memiliki jalan keluar dari efek pemanasan global, sedangkan orang miskin yang menanggung beban.

"Perubahan iklim mengancam membatalkan kemajuan dalam pembangunan, kesehatan global, dan pengurangan kemiskinan dalam 50 tahun terakhir," ujar Alston dalam sebuah laporan baru kepada Dewan HAM PBB yang dilansir Aljazirah, Rabu (26/6).

Baca Juga

"Ini bisa mendorong lebih dari 120 juta orang ke dalam kemiskinan pada 2030 dan akan memiliki dampak paling parah di negara-negara miskin, daerah, dan tempat-tempat orang miskin tinggal dan bekerja," ujar Alston.

Alston mengatakan, orang yang hidup dalam kemiskinan bertanggung jawab atas sebagian kecil dari emisi global. Mereka memiliki kapasitas paling sedikit untuk melindungi diri mereka sendiri dari efek emisi global.

"Kami mengambil risiko skenario 'apartheid iklim' di mana orang kaya membayar untuk keluar dari kepanasan, kelaparan, dan konflik sementara seluruh dunia dibiarkan menderita," kata Alston.

Dalam laporannya, Alston menyatakan, tidak ada peringatan global atas perubahan iklim yang terjadi saat ini, termasuk rekor suhu tinggi di sejumlah negara, lapisan es yang meleleh dengan cepat, serta banjir dan badai yang kerap terjadi. Alston mengutuk pemimpin dunia karena gagal bertindak dan menyerukan transformasi masyarakat untuk mengatasi ancaman tersebut.

"Jika akan ada peluang mencegah pemanasan global yang mengerikan, kita perlu melakukan langkah-langkah afirmatif yang dramatis sekarang. Satu-satunya solusi bagi pemerintah yakni mengadopsi rekayasa ulang ekonomi," ujar Alston.

Dalam laporannya, Alston mengatakan, bisnis seharusnya memainkan peran vital dalam mengatasi perubahan iklim, tetapi tidak dapat diandalkan untuk menjaga orang miskin. Dia mengatakan, orang-orang New York terdampar tanpa listrik atau perawatan kesehatan ketika Badai Sandy menghantam pada 2012. Sementara, markas Goldman Sachs dilindungi puluhan ribu karung pasir dan memiliki daya listrik dari generatornya.

"Ada pelanggaran HAM besar-besaran, bahwa orang kaya dilayani dan yang paling miskin tertinggal," kata Alston dalam laporannya.

Laporan itu mengkritik pemerintah karena lebih banyak melakukan konferensi ketimbang tindakan nyata. Sementara, para ilmuwan dan aktivis iklim telah memberikan peringatan sejak 1970-an.

Alston mengatakan, industri bahan bakar fosil terus disubsidi senilai 5,2 triliun dolar AS per tahun. Sejak 1980, AS telah mengalami 241 bencana cuaca dan iklim yang menelan biaya hingga 1 miliar dolar AS.

Di sisi lain, turunnya harga energi terbarukan menyebabkan emisi menurun di 49 negara. Sebanyak 7.000 kota, 245 wilayah, dan 6000 perusahaan telah berkomitmen melakukan mitigasi iklim.

Kendati demikian, Cina masih mengekspor pembangkit listrik tenaga batu bara dan gagal menindak emisi metana. Sedangkan, Presiden Brazil Jair Bolsonaro berencana membuka hutan hujan Amazon untuk penambangan, mengakhiri demarkasi tanah adat, dan melemahkan perlindungan lingkungan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement