REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan sejumlah saksi dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Kakanwil Kemenag Jatim Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi. Salah satu saksi yang dihadirkan adalah Kepala Bidang Penerangan Agama Islam Zakat dan Wakaf Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur, Zuhri.
Dalam kesaksiannya di depan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (26/6), Zuhri mengaku diperintah Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin, mengumpulkan uang untuk diberikan ke rombongan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang saat itu sedang melakukan lawatan ke Jawa Timur.
"Saat itu (Menag dan Rombongan) mau melaksanakan Rakorpim di tingkat Kanwil, kami tahu-tahu dipanggil atau diminta Pak Haris. Mas saya kalau ada teman-teman memberikan uang tolong diterima," tutur Zuhri menirukan ucapan Haris saat itu.
Jaksa penuntut umum KPK Wawan Yunarwanto menanyakan berapa besaran yang Zuhri terima dari para Kepala Kantor Kemenag se-Jawa Timur. "Semuanya memberikan, ada yang lewat saya ada yang teman saya tapi semua akhirnya sampai ke saya. Mulai dari Rp 500 ribu, Rp 1 Juta , Rp 2 Juta," ungkap Zuhri.
Namun, saat ditanyakan untuk apa uang tersebut dikumpulkan, Zuhri mengaku kurang mengetahui secara pasti, lantaran dirinya hanya bertugas untuk mengumpulkan uang. "Kurang tahu apa karena saya sebatas mengumpulkan hanya pertama kumpulkan antara Rp 40 juta sampai Rp 50 juta jadi saya hitung, saya kumpulkan itu, persiapannya karena sebagai adat ketimuran kedatangan pak Menteri dan krunya kadang-kadang kan polisi untuk mengawal kan minta juga, di anggaran tidak ada, mungkin ini barangkali ada pemikiran itu," terang Zuhri.
Jaksa Wawan kembali menanyakan apakah uang yang dikumpulkan untuk menambah uang transportasi Lukman, Nur Kholis (Sekjen Kemenag) serta rombongan yang sedang berkunjung ke Jawa Timur seperti yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Zuhri.
"Saya pernah dipanggil oleh Haris yang menyampaikan kepada saya bahwa bila ada teman-teman kepala Kemenag kabupaten, kota memberikan, tolong diterima. Saya menanyakan itu uang apa, itu untuk penambahan uang operasi dan kedatangan tambahan Pak Menteri dan Pak Sekjen'. Betul ya?" tanya Jaksa Wawan.
"Iya betul, untuk tambahan dana pak menteri dan pak sekjen, ada operasional yang mengawal pak menteri polisi-polisi itu juga," ujar Zuhri.
Zuhri memperkirakan uang yang terkumpul saat itu sekitar Rp 72 juta. Menurut dia, uang itu tidak diserahkan secara langsung.
"Yang mengambil (hasil pengumpulan uang) itu humas Kanwil namanya Kiki. Kedua atasannya (Kiki), Pak Markus, Kasubag Humas Kanwil," ujarnya.
Dalam kasus ini, Haris dan Muafaq Wirahadi diduga telah menyuap mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Suap diberikan agar Romi mengatur proses seleksi jabatan untuk kedua penyuap tersebut.
Romi selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b ayat (1) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Muafaq Wirahadi dan Haris Hasanuddin selaku penyuap dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Muafaq juga dijerat Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membantah keras terkait penerimaan uang Rp 70 juta dari Haris Hasanudin yang ingin mendapatkan jabatan sebagai kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur. Menurut Lukman, dirinya sama sekali tidak pernah menerima uang yang disebut Haris tersebut.
Lukman pun mengaku terkejut dengan adanya berita yang bersumber dari hasil persidangan dakwaan yang dibacakan jaksa terhadap kasus terdakwa Haris tersebut. "Saya sungguh sama sekali tidak pernah menerima sebagaimana yang didakwakan itu. 70 juta rupiah dalam dua kali pemberian katanya menurut pemberian, 20 juta dan 50 juta. Saya tidak pernah mengetahui, apalagi menerima adanya hal seperti itu," ujar Lukman saat ditanya usai sidang itsbat di Auditorium HM Rasjidi, Kementerian Agama, Senin (3/6).
Lukman menegaskan, saat melakukan kunjungan kerja ke Surabaya pada 1 Maret 2019, dia tidak pernah menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari Haris, apalagi pemberian berupa uang sejumlah Rp 50 juta.
"Saat itu juga tidak ada pertemuan khusus dengan Haris. Saya hanya ke ruang transit hotel bersama beberapa pegawai dari jajaran kanwil sekitar 10 menit sebelum acara dimulai. Dari situ langsung mengisi acara. Selesai acara, saya langsung meninggalkan hotel," ujar Lukman.
Lukman mengatakan, pada 9 Maret 2019 di Tebu Ireng Jombang, Haris memang memberikan uang sejumlah Rp 10 juta, bukan Rp 20 juta. Namun, kata dia, uang tersebut diberikan Haris kepada ajudannya, bukan kepada dirinya langsung.
Menurut Lukman, maksud dan tujuan Haris memberikan uang tersebut kepada ajudannya itu pun tidak jelas. Ketika hal itu ditanyakan oleh ajudannya, Haris hanya mengatakan bahwa uang itu sebagai honorarium tambahan.
Lukman pun kemudian memerintahkan kepada ajudannya untuk mengembalikan uang itu pada 9 Maret malam kepada Haris. Namun, menurut Lukman, ajudannya tidak pernah punya kesempatan bertemu dengan Haris yang tinggal di Surabaya, sehingga terjadilah OTT pada 15 Maret 2019.
"Akhirnya, uang tersebut dilaporkan ke KPK pada 26 Maret 2019. Pelaporan uang Rp 10 juta itu sebagai bentuk komitmen saya terhadap pencegahan tindak gratifikasi," kata Lukman.
Sementara, pengacara Haris Hasanudin, Samsul Huda Yudha pernah mengatakan, pemberian uang senilai total Rp 70 juta untuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Ketua Umum PPP non-aktif Romahurmuziy alias Romi bukan ditujukan sebagai fee melainkan sebagai bisyaroh.
"Terkait pemberian Rp 5 juta betul, Rp 250 juta betul, kemudian Rp 20 juta pada Maret di Ponpes Jombang betul, itu tidak ada istilahnya komitmen atau bentuk jual beli jabatan, tidak pernah Pak Menteri ataupun Pak Romi meminta sesuatu tidak pernah, yang ada itu bentuk tradisi lama yang diambil dari Bahasa Arab namanya bisyaroh," kata Samsul Huda di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (29/5).