REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan jasa riset pasar global Mercer menyatakan ekspatriat atau warga negara asing yang ada di Jakarta cenderung untuk tinggal di tengah kota. Penyebabnya karena faktor kemacetan yang dinilai masih menghambat mobilitas.
"Kami melihat ekspatriat cenderung memilih tinggal di pusat kota yang pasar perumahannya mahal karena pertimbangan kemacetan lalu lintas dan waktu perjalanan," kata Global Mobility Practice Leader Mercer untuk Asia, Mario Ferraro, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta.
Mario Ferraro juga mengungkapkan Jakarta saat ini berada di peringkat 105 dari 209 kota berdasarkan Survei Biaya Hidup Tahun 2019 yang dirilis Mercer, atau naik 12 peringkat. Sedangkan peringkat teratas atau kota berbiaya hidup termahal di dunia selama dua tahun berturut-turut adalah Hong Kong, diikuti oleh Tokyo, Singapura, Seoul, dan Zurich.
"Kenaikan peringkat Jakarta terutama disebabkan oleh pertumbuhan investasi asing dan pasar ekspatriat yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan kota-kota lain," katanya.
Apalagi, ia juga mengemukakan bahwa Jakarta telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam hal infrastruktur. Sehingga Jakarta terus menjadi pasar yang menarik bagi perusahaan-perusahaan asing.
Sebagaimana diwartakan, DKI Jakarta menempati peringkat ke-20 dalam Indeks Kota Global Berdaya Tahan yang dikeluarkan oleh perusahaan konsultan properti internasional, Savills, yang mencakup kota-kota yang dinilai lebih resilien terhadap disrupsi ekonomi global. "Survei dilakukan oleh Savills Internasional (perusahaan konsultan properti multinasional) secara global. Survey ini bisa melihat cara pandang orang luar terhadap kondisi pasar Jakarta," kata Head of Research and Consultancy Savills Indonesia, Anton Sitorus, dalam paparan properti kepada media di Jakarta, Rabu (26/6).
Menurut Anton, pada saat ini ada anggapan bahwa berbagai kota besar di tingkat dunia seperti New York, Tokyo, dan London, akan terus selamanya menjadi kota-kota besar. Padahal, bila dilihat dari kajian historis tidak selamanya akan demikian karena sepanjang lintasan sejarah manusia maka kota-kota besar banyak yang berubah.
"Kota-kota besar akan berubah dan disebabkan banyak hal, yang menjadi omongan orang pada saat ini adalah soal disrupsi di dalam setiap aspek manusia seperti dalam bisnis dan aktivitas sosial lainnya," kata Anton Sitorus.
Ia menyebutkan bahwa penyebab disrupsi ini antara lain karena teknologi, perubahan demografi, serta faktor kepemimpinan politik di masing-masing wilayah atau negara.
Dalam Indeks Kota Global Savills, yang disurvei adalah kota-kota besar yang memiliki tingkat PDB (Pertumbuhan Domestik Bruto) lebih besar dari 50 miliar dolar AS per tahun. Hasilnya, pemeringkatan kota-kota global dengan PDB 50 miliar dolar AS lebih dipuncaki oleh New York, dan kemudian secara berturut-turut adalah Tokyo, London, Los Angeles, dan Shanghai.
"Kalau melihat 20 besar, yang berasal dari ASEAN adalah Jakarta (peringkat ke-20) dan Singapura (peringkat ke-13)," katanya.