REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konferensi 'Perdamaian Menuju Kesejahteraan' pimpinan Amerika Serikat telah digelar di Manama, Bahrain pada 25-26 Juni. Negara-negara Arab yaitu Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Yordania, Maroko, dan Kuwait mengirim delegasi tingkat menteri ke konferensi tersebut.
"Perwakilan negara Arab yang hadir di Manama menunjukkan bahwa mereka tidak lagi melihat Palestina sebagai isu prioritas," kata Pengamat Timur Tengah dari Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Smith Alhadar dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Kamis (27/6).
Situasi itu membuat Timur Tengah semakin tidak menentu, dan negara-negara Arab terbelah semakin jauh. Smith mengatakan, yang menjadi keprihatinan mereka yakni semakin besar pengaruh dan ancaman Iran di kawasan. Mereka ingin agar Israel menjadi mitra mereka dalam menghadapi negara tersebut.
Meskipun hubungan di belakang layar berlangsung intensif antara Israel dan negara Arab Teluk belakangan ini, Smith mengatakan, aliansi terbuka dengan Israel merupakan hal yang mustahil sepanjang isu Palestina belum terselesaikan.
"Sebenarnya isu Israel-Palestina tidak serumit yang dibayangkan kalau saja AS dan Uni Eropa mau sedikit keras kepada Israel untuk memberikan konsesi signifikan pada Palestina," ucap Smith.
Adapun Konferensi Bahrain merupakan bagian ekonomi dari konsep Perdamaian Abad Ini antara Israel dan Palestina. Konferensi bertujuan menghimpun dana hingga 50 miliar dolar Amerika Serikat (AS), yang lebih dari setengahnya akan diberikan kepada Palestina selama sepuluh tahun, dan sisanya untuk Mesir, Lebanon, dan Yordania yang akan dipakai membangun infrastruktur di daerah-daerah perbatasan.
Bagian politik dari konsep tersebut akan diluncurkan apabila bagian ekonominya berhasil. Negara Arab yang mengirimkan delegasi, menurut Smith, mereka mendukung pendekatan baru dalam menyelesaikan isu perdamaian Israel-Palestina yang selama ini memprioritaskan isu politik.
Pimpinan Palestina menolak berpartisipasi karena terlihat jelas pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump terlalu berpihak pada Israel dengan mengorbankan hak-hak paling dasar Palestina. Prinsip solusi dua negara yang selama ini dijadikan dasar perundingan perdamaian Israel-Palestina tidak lagi dijadikan pertimbangan.
"Bahkan AS telah melangkah jauh dalam upaya menyelesaikan masalah Palestina-Israel dengan melanggar seluruh resolusi DK PBB, terutama Resolusi 181, 242, dan 338, yang mengharuskan Israel mundur dari daerah-daerah Palestina yang diduduki Israel pasca-perang 1967 dan menetapkan Yerusalem sebagai sebagai kota internasional," ungkap Smith.
AS juga tidak mengakui Gaza dan Tepi Barat sebagai daerah pendudukan melainkan daerah yang dikontrol Israel. AS juga menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington, kemudian menutup Konsulat Amerika di Yerusalem yang selama ini beroperasi sebagai keduataan besar AS untuk Palestina. "Langkah-langkah yang diambil AS ini tentunya sangat berat untuk dipikul Palestina," kata dia.
Smith mengatakan, rencana perdamaian bukan visi solusi dua negara yang berdaulat penuh. Palestina bukan hanya kehilangan Yerusalem Timur yang akan dijadikan ibu kota Palestina merdeka kelak, tapi juga kehilangan sebagian Tepi Barat yang dihuni pemukim Yahudi. Selanjutnya, Israel akan mengontrol perbatasan, angkasa, dan air Palestina.
"Dengan kata lain, konsep "Kesepakatan Abad Ini" tidak memberikan kemerdekaan pada Palestina, kecuali otonomi terbatas di Gaza dan sebagian Tepi Barat tanpa Yerusalem Timur, dan tanpa angkatan bersenjata. Maka, wajar saja kalau para pemimpin Palestina menolak ikut dalam lokakarya di Manama, yang merupakan bagian ekonomi dari "Kesepakatan Abad Ini"," ucap Smith.