REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia mengatakan para peretas berupaya mencuri informasi rahasia di bidang industri pertahanan dan energi atom miliknya. Meskipun tak menyebut dari mana para peretas itu berasal, tapi Moskow menganggap Amerika Serikat (AS) sebagai ancaman utama.
“Analisis informasi yang berasal dari GosSOPKA (sistem identifikasi, peringatan, dan penghapusan efek serangan siber dunia maya terhadap sumber daya teknologi informasi Rusia) menunjukkan bahwa sebagian besar serangan ditujukan untuk mencuri informasi. Pertama dan terutama para peretas fokus pada teknologi Rusia di isndustri pertahanan dan industri nuklir, energi dan pembangunan rudal, serta informasi dari sistem administrasi publik,” kata Wakil Direktur Pusat Koordinasi Nasional untuk Insiden Komputer Rusia Nikolai Murashov pada Kamis (27/6), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.
Rata-rata, satu dari tiga serangan pusat mengungkapkan target perbankan dan organisasi keungan (38 persen), 35 persen serangan terhadap badan-badan negara. Tujuh persen terhadap fasilitas industri pendidikan dan pertahanan, empat persen terhadap ruang dan industri roket, dan tiga persen terhadap perawatan kesehatan.
Murashov menyebut bahwa AS masih menjadi sumber utama ancaman, sebagaimana dikonfirmasi oleh data dari perusahaan Webster (AS), Ruixing (Cina), Comodo Security Solutions (AS), dan NTT Security (Jepang). Dia mengatakan serangan siber dilakukan melalui berbagai metode penyebaran malware, misalnya melalui email.
Menurut statistik, pada 2018, 63 persen hingga 71 persen serangan siber melalui sumber daya situs terhadap Rusia dilakukan dari wilayah AS, lima hingga 10 persen dari Cina, dan tiga persen dari dalam negeri Rusia sendiri. AS menjadi nomor satu dalam hal semua jenis serangan dengan persentase 27 persen. Cina berada di urutan kedua dengan persentase 10 persen, Belanda dan Prancis urutan ketiga dengan persentase masing-masing sebanyak empat persen, dan Jerman dengan persentase tiga persen.