REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan perlu ada evaluasi pelaksanaan sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Sistem persidangan cepat (speedy trial) dinilai merugikan pihak pemohon.
Menurut Pramono, penyelesaian sengketa pilpres seharusnya bisa lebih panjang waktunya agar maksimal dalam menyelesaikan masalah-masalah yang besar. "Dengan sebegitu besar masalah, ternyata itu belum, belum ideal. Untuk pemeriksaan saksi-saksi itu mungkin masing-masing dua hari, mungkin akan lebih oke," ujar Pramono saat dijumpai di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (27/6).
Pramono melihat sistem speedy trial penyelesaian sengketa hasil Pilpres 2019 selama 14 hari kerja ini tak akan bisa dimaksimalkan oleh pemohon untuk menyampaikan bukti-bukti di persidangan. Apalagi, bila dalam permohonannya banyak dalil-dalil yang dinilainya bagus dan menarik.
"Sebenernya agak kasihan juga ya kepada pemohon," tuturnya.
Bila format speedy trial ini tetap dipertahankan, Pramono berharap waktunya bisa lebih diperpanjang daripada sekarang ini. Untuk pemeriksaan saksi misalnya, disediakan waktu dua hari untuk masing-masing pihak.
"Speedy trial tapi tidak terlalu ekspress seperti sekarang. Kalau permohonannya bagus, kuat begitu, itu kasihan pemohon," tambahnya.