Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya gugatan yang diajukan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi terkait hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Alat bukti yang dihadirkan pemohon dianggap tak bisa membuktikan 15 permohonan yang diajukan kepada Mahkamah.
Putusan sidang gugatan Pilpres 2019 (27/6/2019) dibacakan oleh Ketua MK, Anwar Usman, di akhir sidang yang berlangsung sejak pukul 12.40 WIB dan berakhir malam hari ini.
Sebelumnya ke-8 hakim konstitusi lainnya secara bergantian membacakan pertimbangan Mahkamah.
"Dalam pokok permohonan, mengadili, menyatakan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Anwar Usman.
MK juga menganggap dalil pemohon, dalam hal ini tim BPN, terkait kewenangan mengadili kecurangan terstruktur, sistematis dan massif (TSM) keliru.
"Menurut Mahkamah, dalil pemohon mengandung kekeliruan pada proposisi yang dijadikan premis argumentasi. Proposisi yang dimaksud adalah seolah tidak ada jalan hukum menyelesaikan pelanggaran TSM karena Mahkamah tidak diberi kewenangan konstitusionalitas Pemilu.
"Padahal jalan hukum tersedia, bahkan diatur secara rinci bukan hanya substansi yang tercakup dalam pelanggaran admin yang bersifat TSM, tetapi juga lembaga serta prosedur dan mekanisme penyelesaiannya," sebut hakim MK.
Mahkamah juga menilai sebagian alat bukti formulir C1 dari hasil rekapitulasi Provinsi tidak jelas sumbernya dan bukan C1 resmi yang diserahkan saksi di tempat pemungutan suara (TPS).
"Selain dalil pemohon yang tidak lengkap, tidak jelas karena tidak secara khusus di mana terjadi perbedaan suara tersebut pemohon tidak membuktikan dengan bukti yang cukup bahwa hasil penghitungan itu benar."
"Karena bukti pemohon tidak dapat membuktikan berdasarkan formulir rekapitulasi yang sah, oleh karena itu mahkamah berpendapat dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum," ujar hakim konstitusi, Arief Hidayat.
Menanggapi pertimbangan putusan yang disampaikan para hakim, tim kuasa hukum BPN, Teuku Nasrullah, mengatakan MK telah membuat pagar atau ranjau yang mengekang dalil permohonan mereka.
"Ranjau pertama yang digunakan mengatakan 'ini bukan kewenangan Mahkamah, ini kewenangan Bawaslu'."
"Kalau ranjau itu tidak kena, maka digunakan jaring berikutnya bahwa tidak ada korelasi dengan hasil perolehan suara atau nanti dipakai lagi ranjaunya dalil yang disampaikan tidak bisa dibuktikan."
Tim BPN keberatan jika pihak mereka dinyatakan tidak bisa membuktikan, namun di sisi lain mereka merasa tidak diberi kesempatan yang maksimum.
"Ini hanya 15 saksi yang bisa kami hadirkan, tidak lebih dari itu. Bahkan ada satu yang dicoret karena tidak bersedia hadir belakangan, Haris Azhar, walaupun semula dia sudah menyatakan bersedia bahkan sudah mengirim fotokopi KTP-nya."
"Hanya 14 saksi yang bisa kami hadirkan kemudian dinyatakan kami tidak bisa membuktikan dalilnya," sesal Nasrullah dalam sebuah wawancara televisi saat jeda sidang (27/6/2019).
Sementara itu, pihak termohon, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengatakan pemohon seharusnya lebih siap menghadirkan bukti karena kesempatan yang diberikan ke semua pihak sama.
"Kalau berani mendalilkan mustinya siap dong. Kalau berani menggugat mestinya siap tidak usah mengeluh soal keterbatasan waktu," tutur Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari.
"Kalau seperti itu semua orang kan tahu, dari dulu Undang-Undang MK kan bukan sekarang aja, dari dulu sejak MK ada, kesempatan melakukan gugatan itu 3x24 jam setelah KPU menetapkan hasil."
Hasyim justru mempertanyakan manajemen advokasi tim pemohon yang dinilainya menjadi sumber dari ketidaksahihan bukti.
"Yang namanya tim pasti bagi-bagi tugas lah, ada yang menyusun gugatan, ada yang menyusun alat bukti, ada yang verifikasi alat bukti, dilihat buktinya memadai atau tidak, ini kan kalau boleh dikatakan, hampir semua alat bukti itu video. Bagi kami, pertanyaannya itu video pernah disetel ga oleh kuasa hukum?," tanyanya.
"Nah kalau mereka, nyatanya, tidak terverifikasi, kemudian semua alat bukti video itu dinyatakan tidak meyakinkan oleh Mahkamah, ini kan problemnya kualitas manajemen advokasi 02."
Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, juga membenarkan jika bukan kuantitas barang bukti yang dimaksudkan MK dalam pertimbangannya.
"Yang dikatakan oleh hakim adalah ada bukti yang tidak ada korelasinya dengan dalil, ada bukti yang ternyata setelah mahkamah mencari lebih jauh, ternyata tidak terbukti faktanya.
"Kemudian ada juga video yang tidak menyebutkan apa-apa hanya bentuknya narasi, jadi tidak bisa dikaitkan di TPS mana saja dan siapa sajam" jelas ahli hukum tata negara perempuan ini.
Bivitri menyampaikan, kualitas saksi maupun alat bukti yang dihadirkan pemohon tidak bisa terlalu meyakinkan hakim, dan bahkan ada beberapa alat bukti surat maupun saksi yang ternyata tidak ada korelasinya dengan dalil.
"Tadi saya mendengar hakim mengatakan 'ini kok tidak cermat kuasa hukum?' karena ada yang dalilnya A tapi buktinya bukan untuk mendukung A tapi untuk mendukung C."
Sidang putusan atas sengketa di Mahkamah Konstitusi berlangsung selama 9 jam dan sempat diwarnai oleh aksi massa di depan gedung MK.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.