Jumat 28 Jun 2019 14:14 WIB

PM Quebec tak Percaya Muslimah Jadi Target Islamofobia

Justice Femme mencatat lebih dari 40 insiden Islamofobia dimana Muslimah jadi korban

Rep: Umi Nur Fadillah/ Red: Agung Sasongko
 Seorang Muslimah Kanada mendirikan shalat di dekat kedai kopi Tim Hortons di Toronto, Ontario, Kanada. (ilustrasi)
Foto: www.islamicblog.co.in
Seorang Muslimah Kanada mendirikan shalat di dekat kedai kopi Tim Hortons di Toronto, Ontario, Kanada. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  QUEBEC CITY — Perdana Menteri (PM) Quebec François Legault tidak yakin perempuan Muslim di provinsi itu menjadi target Islamofobia, sejak adanya larangan mengenakan simbol agama untuk pegawai negeri sipil. Pemerintah mengeluarkan undang-undang yang melarang beberapa pegawai negeri sipil mengenakan simbol agama.

Seperti dilansir di CBC.ca pada Jumat (28/6), beberapa perempuan Muslim yang mengenakan jilbab atau niqab mengaku menjadi target pelecehan, mendapat komentar kebencian, bahkan diludahi, sejak undang-undang diajukan pada Maret lalu.

Kelompok advokasi perempuan, Justice Femme mencatat lebih dari 40 insiden Islamofobia terjadi di sekitar Montreal, antara akhir Maret dan awal Mei. Para pemimpin komunitas Muslim berbagi cerita di media sosial yang menunjukkan insiden pelecehan belum mereda dalam dua minggu, sejak undang-undang tersebut mulai berlaku.

Dalam wawancara dengan Radio CBC, PM Legault menyatakan tidak percaya dengan berita yang mengatakan orang-orang yang terkait dengan undang-undang itu, menerima tingkat pelecehan dan intimidasi lebih besar.

Perdana menteri kemudian menggambarkan hukum simbol agama sebagai hal moderat, karena hanya berlaku untuk sejumlah kecil pegawai negeri, seperti guru sekolah umum, kepala sekolah, pengacara pemerintah, petugas polisi, hakim, dan petugas satwa liar yang dilarang mengenakan tanda-tanda keyakinannya.

“(Undang-undang itu) sangat mirip dengan yang kita miliki, di Belgia, di Perancis, di Jerman,” kata Legault.

Dia merujuk pada undang-undang di Belgia yang melarang cadar di depan umum. Larangan serupa ada di Prancis, bahwa memakai simbol agama di sekolah negeri adalah tindakan ilegal bagi siswa dan guru. Beberapa negara bagian di Jerman telah menerapkan batasan mereka sendiri di mana simbol agama dapat dipakai.

“Ketika saya mendengar beberapa orang mengatakan bahwa Quebec menjadi rasis, apakah itu berarti Jerman, Prancis, dan Belgia rasis?” tanya Legault.

Legault beranggapan kurangnya pembatasan pada simbol-simbol agama, menjadi alasan munculnya ekstremisme sayap kanan di Amerika Serikat (AS). “Mereka tidak memiliki jenis hukum yang kami tempatkan atau yang mereka tempatkan di Prancis, dan mereka memiliki ekstremisme,” kata Legault.

Perdana menteri itu menggambarkan hukum Quebec sebagai kerangka kerja yang akan membantu mengecualikan pandangan rasis dari debat arus utama. Legault mengaku berempati terhadap orang-orang yang terkena dampak atas kebijakan itu. Namun, menurut dia, orang-orang tersebut tetap bisa mengenakan simbol agama di rumah, tempat-tempat umum.

Pesiden kelompok advokasi Justice Femme, Hanadi Saad mencatat lonjakan pelecehan terhadap Muslim. Dia menilai PM Legault sedang melakukan penyangkalan atas peristiwa yang terjadi.

“Dia hidup dalam penyangkalan total, dan kami meminta pertanggung jawabannya atas apa yang dialami wanita Muslim. Penolakannya hanya memperburuk masalah,” ujar Saad. 

Dewan Nasional Muslim Kanada juga bereaksi terhadap komentar Legault. “Sikap menolak dan bodoh seperti itu justru merupakan alasan mengapa dua pertiga dari semua kejahatan rasial tidak pernah dilaporkan kepada pihak berwenang,” kata direktur eksekutif dewan, Mustafa Farooq.

Dia menjelaskan, ketika orang yang berkuasa secara sewenang-wenang memutuskan tidak percaya pengalaman hidup orang, terutama pengalaman wanita, itu menyebabkan kerusakan signifikan. “Kami menyadari, komentar Premier Legault adalah bagian dari upaya pemerintahnya yang lebih luas untuk membungkam minoritas agar tunduk pada RUU ini,” ujar Farooq.

Bulan depan, pengacara untuk kelompok advokasi Muslim dan sebuah organisasi hak-hak sipil akan hadir di Pengadilan Tinggi Quebec untuk berargumen bahwa undang-undang tersebut harus menjadi subjek dari sebuah perintah, sambil menunggu pertimbangan yang lebih menyeluruh tentang konstitusionalitasnya

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement