REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibnu Battuta, Bathuthah, demikian sapaan kecilnya. Tokoh yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah al-Lawati al-Tanji Ibnu Battuta ini lahir pada 1304 di Kota Tangier, Maroko. Ia dikenal sebagai pengelana Muslim abad ke-14.
Namanya bahkan sampai hari ini dikenang sebagai pelancong paling berpengalaman di dunia. Hampir seluruh pelosok bumi pernah ia jelajahi. Mulai dari Afrika Utara, Mali, Spanyol, Mesir, Palestina, Istanbul, Mekkah, Madinah, Yaman, Somalia, Mombassa, Persia, Irak, Anatolia, Bukhara, Laut Arab, Delhi, Kalkuta, Sri Lanka, Samudra Pasai, Vietnam, hingga Kanton, dan Hang-chou di Cina.
Perjalanan yang ditempuh selama 29 tahun itu (1325-1354) menempuh banyak kerajaan di masa itu, antara lain, Kesultanan Marinid, Kerajaan Mali, Kesultanan Mamluk, Kerajaan Kipchak Khan, Kerajaan Cagatay Khan, Kerajaan Ilkhanid Khan, Kesultanan Delhi, Kerajaan Samudra Pasai, dan Kerajaan Mongol.
Ibnu Battuta hidup pada masa Dinasti Marinid. Ia berasal dari keluarga ulama fikih Islam di Tangier, Maroko. Keluarganya keturunan suku barbar yang terkenal dengan nama suku Lawata. Kedua orang tua Ibnu Battuta masih hidup saat ia memulai pengembaraannya pada 1325.
Tangier adalah titik pertemuan geografi empat benua yaitu Afrika, Eropa, Atlantik, dan Laut Tengah. Kota Tangier adalah sebuah kota antarbangsa yang ditentukan oleh arus lalu lintas maritim yang sering digunakan oleh para pedagang, prajurit, dan ilmuwan.
Ross E Dunn, dalam the Adventures of Ibn Battuta (2005) menjelaskan, Tangier adalah kota perbatasan pada abad ke-14. Berbagai insiden yang menimbulkan ketegangan kerap terjadi di kota ini. Seperti anggota tentara barbar yang kasar, pedagang-pedagang Kristen dan Islam bertengkar satu sama lain di galangan kapal dan di gudang penyimpanan serta bajak laut yang menjual hasil rompakan mereka di pasar.
Negara membantu kondisi ekonomi Tangier yang sedang krisis dengan menyediakan pekerjaan bagi penduduk dalam urusan konstruksi kapal, muatan kapal, menyewa prajurit dan pelaut, berdagang senjata dan persediaan barang. Pada masa mudanya, Ibnu Battuta bersekolah di sebuah madrasah fikih bermazhab Maliki yang merupakan bentuk dominan dari pendidikan Afrika Utara saat itu. Ia memperoleh prestasi di bidang akademik ini.
Keluarga Ibnu Battuta memiliki kedudukan terhormat sebagai cendekiawan. Pada abad ke-14, Kota Tangier bukanlah sebuah pusat kegiatan pendidikan di Afrika Utara. Kota ini tidak seperti Kota Fez, Tlemcen, ataupun Tunis. Ketika Ibnu Battuta tumbuh besar, tidak ada satu pun madrasah atau perguruan tinggi yang didirikan oleh Dinasti Marinid sebagai pemerintah baru di ibu kota mereka.
Pendidikan yang diterima Ibnu Battuta adalah suatu yang berharga bagi keluarga ahli hukum. Ibnu Battuta rajin belajar Alquran di masjid terdekat, sehingga pada umur 12 tahun dia telah menghapal Alquran.
Ibnu Battta juga mempelajari ilmu tafsir Alquran, hadis, tata bahasa, retorika, teologi, logika, dan ilmu hukum. Ibnu Battuta juga mempelajari ilmu sufi. Ia tidak pernah menjadi seorang pengikut sufisme yang terikat dengannya. Beliau seorang sufi awam yang menghadiri pertemuan-pertemuan tarekat, mencari doa, dan makrifat serta menyendiri pada waktu-waktu tertentu.