REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Itjih Nursalim kembali mangkir panggilan pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sedianya, Sjamsul dan istri dijadwalkan menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap BDNI.
"Belum diperoleh informasi alasan ketidakhadiran keduanya," ujar Kabag Pemberitaan dan Publikasi Yuyuk Andriari saat dikonfirmasi, Jumat (28/6).
Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan tak ada alasan bagi Sjamsul dan Itjih tak menghadiri panggilan pemeriksaan. Sebab, tim lembaga antirasuah sudah mengirimkan surat pemanggilan ke lima alamat rumah milik Sjamsul dan Itjih di Indonesia dan Singapura.
Febri mengatakan, untuk alamat di Indonesia, tim KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke rumah para tersangka di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran, Jakarta Selatan sejak Kamis, 20 Juni 2019.
"Untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia, ke empat alamat, sejak Jumat, 21 Juni 2019, yaitu: 20 Cluny Road; Giti Tire Plt. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley dan 18C Chatsworth Rd," tutur Febri kemarin.
Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura. "Upaya pemanggilan tersangka juga dilakukan dengan bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura," ujar Febri.
Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun.
Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.