REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat tata kota Nirwono Yoga mengatakan, rumah di atas gedung bukan solusi pemenuhan kebutuhan tempat tinggal di Ibu Kota. Menurutnya, penggunaan lahan di atas gedung sebagai hunian ini tidak efektif meski lahan untuk rumah tinggal sangat terbatas di Jakarta.
"Dan yang pasti ini bukan solusi pemenuhan kebutuhan hunian (mewah) di pusat kota," ujar Nirwono kepada Republika, Jumat (28/6).
Ia menjelaskan, akan lebih optimal berupa hunian vertikal seperti apartemen, flat, dan rumah susun. Dengan tetap memerhatikan ketinggian sedang atau tinggi tergantung kebutuhan hunian dan kepadatan penduduk yang direncanakan.
Rumah di atas gedung juga memiliki kendala terkait pemenuhan fasilitas utilitas seperti saluran air bersih dan air limbah. Selain itu, ketersediaan akan ruang terbuka hijau (RTH) dan sirkulasi jalan umum menjadi hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan tempat tinggal di atas gedung.
"Dan penggunaan lahan yang boros atau tidak efisien dan tidak efektif," lanjut Nirwono.
Menurut dia, justru seharusnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mendorong atap gedung di Ibu Kota dibangun RTH bukan tempat tinggal. RTH itu bisa berupa taman atau pertanian kota atau urban farming untuk kebutuhan para penghuni gedung itu sendiri.
Nirwono menyebut, sudah ada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 38 Tahun 2018 tentang bangunan gedung hijau di era kepemimpinan mantan gubernur Fauzi Bowo. Ia meminta ketegasan Pemprov DKI melaksanakan Pergub itu untuk mendorong pemanfaatan atap gedung menjadi RTH.
Ia mengatakan, terkait hunian mewah di atas gedung Thamrin City, Pemprov DKI perlu mengecek kembali kekuatan konstruksi bangunan. Kemudian meninjau kembali Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang disebut sudah dikantongi bangunan tersebut.
"Perlu dicek IMB bangunan gedung atau IMB per rumah atau kavling yang dibangun. Begitu pula SLF-nya gedung itu atau SLF bangunan rumah-rumahnya harus dicek kembali," lanjut Nirwono.