REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan, pemerintah terus berupaya mencari mahasiswa asal negaranya, Alek Sigley (29 tahun) yang dikabarkan menghilang di Korea Utara (Korut). Kepada wartawan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20, Morrison mengatakan, ia telah melakukan kontak dengan keluarga Sigley.
Bahkan, sejumlah pemimpin dunia telah menawarkan bantuan untuk menemukan pemuda tersebut. "Kita menggunakan peluang terbaik yang kita miliki sekarang untuk menginformasikan di mana Alek, bagaimana keselamatannya, apakah dia ditahan, dan bagaimana kondisinya," ujar Morrison dilansir The Guardian, Ahad (30/6).
Diketahui, Sigley berada di Korut untuk mendapatkan gelar master dalam bidang sastra Korea di Universitas Kim Il-Sung, Pyongyang. Selain itu, dia juga mengelola sebuah perusahaan wisata kecil-kecilan yang berspesialisasi dalam perjalanan pendidikan ke Korut.
Sigley terakhir kali melakukan kontak dengan keluarganya di Australia pada Selasa (25/6). Halaman Facebook Sigley telah ditangguhkan untuk mencegah adanya spekulasi.
Sigley diketahui kerap mengunggah tentang Korut di blog pribadi dan akun media sosialnya secara teratur. Biasanya dia mengunggah mengenai makanan, mode, dan kehidupan masyarakat sehari-hari di Korut.
Para ahli menyatakan, Sigley kemungkinan sengaja dihilangkan menjelang kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke zona demiliterisasi (DMZ). Ketika ditanya apakah kunjungan Trump ke DMZ Korea dapat membantu pencarian Sigley, Morrison mengatakan, dia tidak akan mengangkat masalah ini dengan agenda lain.
"Kami akan bekerja sama dengan semua orang untuk mengamankan keamanan Alek dan cara terbaik yang bisa kami lakukan adalah melakukannya dengan diam-diam, efektif, bekerja dengan mitra kami. Kami tidak membiarkan (masalah) ini dimasukkan ke dalam agenda lain. Bagi saya, ini sederhana saja, tentang keamanan Alek," kata Morrison.
Perlakuan warga asing di Korut telah lama menjadi masalah yang diperdebatkan. Sebelumnya, kematian pelajar Amerika Serikat (AS), Otto Warmbier pada 2017 memicu periode panjang ketegangan antara Washington dan Pyongyang. Warmbier ditahan selama 17 bulan di Korut.
Warmbier ditahan pada 2016 dan dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa karena mencoba mencuri poster propaganda di hotelnya. Dia kembali ke AS dalam keadaan koma dan tidak beberapa lama meninggal dunia.
Akibat kasus tersebut, AS memberlakukan larangan pada warga negaranya untuk bepergian ke Korut pada September 2017. Namun pekerja kemanusiaan atau jurnalis masih diberikan izin untuk pergi ke Korut.