Senin 01 Jul 2019 15:47 WIB

Mengintip Wisata Ramah Lingkungan Festival Sindoro Sumbing

Fetsival ini tidak menggunakan plastik dan meminimalkan sampah.

Makanan dibungkus daun pisang yang lebih ramah lingkungan.
Foto: Antara
Makanan dibungkus daun pisang yang lebih ramah lingkungan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tempe goreng dan dua kue tradisional serta segelas teh manis khas Lamuk Gunung disajikan di atas selembar daun pisang. Sajian ini menjadi kudapan bagi peserta loka karya kostum Jaran Kepang dalam Festival Sindoro Sumbing di Lamuk Gunung, Kabupaten Temanggung pada 26 Juni lalu.

Tak ada air kemasan atau makanan berbungkus plastik yang dihidangkan bagi peserta. Hal itu karena Festival Sindoro Sumbing berkomitmen membuat hajatan yang ramah lingkungan.

Baca Juga

Pada saat makan siang, makanan disajikan secara prasmanan, air putih dan teh manis telah dituang ke dalam gelas beling. Menu-menu lokal seperti sayur buntil daun talas, ayam goreng yang dimasak oleh warga desa Lamuk Gunung pun siap memanjakan lidah para peserta.

Festival Sindoro Sumbing adalah kegiatan kolaborasi oleh Kabupaten Temanggung dan Wonosobo untuk mengangkat kearifan lokal masyarakat sekitar lereng gunung Sindoro dan Sumbing. Mereka mengambil tema "Lestari" sebagai jantung dari penyelenggaraannya.

Konsep ramah lingkungan

Direktur Festival Sindoro Sumbing Kabupaten Temanggung Imam Abdul Rofiq konsep ramah lingkungan dalam acara tersebut diaplikasikan setiap waktu. Misalnya saja untuk urusan makan.

Imam mengaku panitiapunya aturan-aturan yang tak boleh dilanggar, misalnya untuk kudapan tidak boleh disajikan dengan menggunakan wadah plastik sekali pakai. Untuk makan siang haruslah prasmanan sementara untuk makanan yang disajikan haruslah kuliner lokal.

Di setiap acara mereka menyediakan dua jenis keranjang sampah. Satu untuk sampah organik dan satu untuk sampah anorganik. Agar mudah dimengerti warga desa, mereka juga menterjemahkan kata organik menjadi 'iso bosok' (bisa busuk) dan kata anorganik menjadi 'ra iso bosok' (tidak bisa busuk).

"Dalam setiap penyelenggaraan juga sudah ada manajemen persampahan untuk mengurusi masalah sampah dari hulu ke hilir," kata Imam.

Dalam manajemen persampahan tersebut tim sudah memetakan potensi timbunan sampah yang akan terjadi baik sampah organik mau pun sampan anorganik. Untuk sampah organik akan dikompos, sementara untuk sampah anorganik akan diolah kembali di bank sampah.

Upaya meminimalkan sampah juga terlihat dari dekorasi yang digunakan selama penyelenggaraan acara. Sejak awal pembukaan hingga akhir panitia akan menggunakan rigen (papan yang terbuat dari anyaman bambu yang digunakan petani tembakau untuk menjemur tembakau) untuk backdrop(spanduk di latar belakang).Ssementara untuk papan petunjuk acara mereka menggunakan tampah yang dicat warna putih.

Imam mengatakan rigen atau tampah yang digunakan juga bukan barang baru. Mereka meminjam rigen milik warga setempat yang rata-rata memang bekerja sebagai petani tembakau.

"Panitia memang bekerja sama dengan panitia lokal seperti Karang Taruna untuk menyelenggarakan acara ini, maka untuk penyelenggaraan ini baik dekorasi, panggung dan lain-lainnya kami berupaya menggunakan benda-benda yang sudah ada di masyarakat sekitar," kata Imam.

Untuk cenderamata, mereka juga berupaya memanfaatkan limbah kayu yang dijadikan sebagai gantungan kunci. Saat dijual, cenderamata tersebut juga tidak dibungkus dengan kantung plastik.

Imam mengatakan ini adalah festival berkonsep ramah lingkungan pertama yang digelar di Temanggung. Sejauh penyelenggaraan menurut dia, tidak ada masalah berarti dalam menerapkan konsep minim sampah tersebut.

Memberdayakan komunitas

Sementara itu Ketua Karang Taruna Wijaya Tri Supono, selaku panitia lokal dari desa Lamuk Gunung mengatakan keinginan Festival Sindoro Sumbing untuk memberdayakan komunitas desa dan menggunakan sumber daya yang ada memang sejalan dengan keinginan warga Lamuk Gunung.

"Ini bukan hanya acara satu pihak saja, ini adalah acara bersama, kebetulan ide desa dengan ide panitia utama sudah sejalan. Misalnya ide untuk memanfaatkan bahan-bahan yang ada seperti rigen, bambu dan janur," kata Tri Supono.

Untuk panggung acara di Lamuk Gunung, mereka menggunakan atap rumah salah satu warga. Atap rumah masyarakat di Lamuk Gunung rata-rata datar, karena difungsikan sebagai lahan menjemur tembakau, dekorasinya menggunakan rigen milik warga. Saat ini belumlah masa panen tembakau, jadi rigen-rigen tersebut masih belum digunakan warga untuk menjemur tembakau.

Agar para peserta tidak kepanasan mereka menggunakan paranet sebagai naungannya, setelah acara, paranet tersebut dapat digunakan kembali untuk pembibitan.

Sementara untuk konsumsi, semuanya dibuat oleh ibu-ibu PKK. Para ibu-ibu tersebutlah yang menentukan menu yang akan disajikan kepada para tamu. Para ibu juga sudah dapat memperkirakan jumlah makanan agar tidak ada makanan yang bersisa.

Menurut Tri, tidak sulit untuk mengerjakan acara dengan konsep ramah lingkungan seperti itu, karena konsep tersebut sebenarnya sering dilakukan oleh mereka.

"Setiap bulan kami punya kegiatan, dan setiap acara pasti kami memasak makanan sendiri, disajikan di atas daun pisang dan menyuguhkan teh di dalam gelas. Jadi apa yang kami lakukan sekarang bukanlah hal baru. Sampah-sampah organik dari acara tersebut nanti akan dibuat menjadi pupuk yang berguna bagi para petani desa tersebut," kata dia.

sumber : antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement