REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Arif Satrio Nugroho
Koalisi Indonesia Adil Makmur pengusung calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno telah dibubarkan. Pembubaran koalisi diputuskan dalam pertemuan terakhir antarpimpinan partai politik koalisi yang digelar di kediaman Prabowo di Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (28/6) atau sehari setelah putusan hasil sengketa pilpres dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengajak seluruh partai eks Koalisi Indonesia Adil Makmur untuk sama-sama mengambil bagian menjadi oposisi. Pasalnya, kerja sama yang terjalin selama proses Pilpres 2019 kemarin telah menciptakan kecocokan di antara mereka.
"Ayo semua rekan-rekan Koalisi 02 kita sudah bubar, kita bertransformasi jadi kaukus, kita sama-sama bangun negeri ini walaupun jadi oposisi tapi tetap itu pekerjaan yang mulia," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (1/7).
Kendati demikian ia tidak mempermasalahkan jika pada akhirnya oposisi hanya diisi oleh Partai Gerindra dan PKS. Menurut Mardani, koalisi terbaik adalah berkoalisi dengan rakyat.
"Siapa pun yang membela kepentingan rakyat sekecil apapun dia jadi besar, sedikit apa pun dia jadi banyak," tuturnya.
Ia pun mengisahkan kembali bagaimana cicak bisa menang melawan buaya ketika didukung oleh rakyat pada saat ramai polemik 'cicak vs buaya'. Ia meyakini, dukungan rakyat akan didapatkan PKS dan Gerindra jika berada di dalam oposisi.
"Kami tetap yakin," katanya.
Seluruh partai eks Koalisi Indonesia Adil Makmur saat ini tengah berancang-ancang menyiapkan langkah politik selanjutnya setelah gugatan Prabowo Subianto ditolak untuk seluruhnya oleh MK. Partai Demokrat rencananya baru akan mengumumkan arah koalisi usai 40 hari meninggalnya istri Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kristiani Herrawati yang jatuh tepat 10 Juli 2019.
"Per hari ini ada yang mau minta di oposisi aja, atau di luar seperti sekarang ada juga, ada yang juga yg berpendapat bagus bersama-sama (Jokowi)," Sekretaris Jenderal Demokrat Hinca Pandjaitan di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Senin (1/6).
Hinca menambahkan, para kader Demokrat di daerah pun memiliki preferensi berbeda-beda. Ada daerah pemilihan dengan keunggulan Jokowi, ada pula yang unggul Prabowo. Kendati demikian, menurut Hinca, apa pun keputuan Demokrat nantinya akan selalu diikuti segenap partai.
Terkait penentuan posisi politik, Hinca mengatakan, mekanisme partai memberikan kewenangan kepada majelis tinggi. Ia menambahkan majelis tinggi akan bersidang setelah masa jabatan pengurus Partai Demokrat habis atau setelah 10 Juli 2019.
"Nanti di situ diputuskan posisi Partai Demokrat. Memang ketua majelis tinggi partai itu pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), ada 15 anggotanya, termasuk saya," ujar Hinca.
Sementara PAN baru akan menyelenggarakan rakernas pada akhir Juli ini. Sedangkan PKS secara resmi masih menunggu musyawarah Majelis Syuro.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN Eddy Soeparno mengungkapkan, bahwa partainya belum memutuskan sikap pascaputusan MKmenolak seluruh gugatan sengketa hasil pilpres dari Tim Hukum Prabowo-Sandi. Eddy mengaku PAN masih mengkaji sejumlah opsi yang ada.
"Bagaimana kalau sampai ada opsi pertimbangan untuk masuk pemerintahan, kalau diajak, dengan catatan kalau diajak ya," kata Eddy di kediaman Prabowo di Kertanegara IV, Jakarta, Jumat (28/6).
Eddy menambahkan, selain tengah mengkaji opsi untuk gabung dengan pemerintah, PAN juga mempertimbangkan opsi berada di luar pemerintahan. Kendati demikian PAN masih akan mengkaji opsi-opsi yang ada tersebut.
Ia menegaskan, PAN akan menentukan sikapnya dalam rapat kerja nasional (rakernas). "Intinya begini, berada di dalam pemerintahan, di luar pemerintahan itu sama saja mulianya asal kita bisa jalankan agenda kerakyatan yang baik," tuturnya.
Adapun, Partai Gerindra mengisyaratkan untuk tetap berada di pihak oposisi pascaputusan MK. Kader-kader Gerindra di akar rumput disebut lebih memilih berada di pihak oposisi dibanding menjadi bagian dari pemerintahan.
"Menurut saya, demokrasi yang sehat itu harus ada check and balance, yaitu selain partai pendukung, harus ada partai oposisi dan saya meyakini Gerindra akan tetap pada posisi sebagai oposisi," kata Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra Muhammad Syafii di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Senin (1/6).
Syafii mengatakan, demokrasi yang sehat mengandung dua pilar, yaitu partai pendukung dan oposisi. Demokrasi tidak akan sehat bila semua partai menjadi partai pendukung pemenang pemilu. Menurut dia, harus ada yang bersikap oposisi.
"Gerindra sejak awal sudah menunjukkan positioning sebagai partai oposisi. Tentu dalam kondisi yang sama ketika kita belum memenangi pilpres, tentu kita akan membuat oposisi yang sama untuk menyehatkan demokrasi untuk tetap menjadi oposisi," ujar dia.
[video] BPN: Jalan Kita Masih Panjang