REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Media Survei Nasional (Median) Ade Irfan Abudurrahman menilai berada di luar pemerintahan atau oposisi tidak selamanya bakal merugikan partai politik. Bahkan, posisi tidak mendapatkan kekuasaan tersebut bisa menguntungkan partai politik untuk menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Bisa juga diuntungkan secara elektotal jika oposisi mampu menjadi perpanjangan tangan suara rakyat untuk pemerintahan," ujar Ade Irfan saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (1/7).
Untuk mendapatkan elektoral yang besar pada pemilu selanjutnya, Ade Irfan mengatakan, oposisi harus mampu menjalankan perannya dengan baik. Ia menambahkan, oposisi harus bisa menampung aspirasi masyarakat yang terabaikan oleh pemerintah.
"Oposisi akan mendapatkan modal elektoral yang besar jika di mata masyarakat mampu menjadi partai yang mendengarkan aspirasi mereka dan melawan kebijakan kebijakan buruk pemerintahan," kata kata dosen komunikasi politik Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang itu.
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Koalisi Indonesia Adil Makmur memutuskan untuk tutup buku atau bubar. Bubarnya koalisi tidak berarti sejumlah partai eks koalisi pengusung pasangan Prabowo-Sandiaga bakal bergabung dengan pemerintah. Bukan tidak mungkin mereka, termasuk Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tetap berada di luar pemerintahan.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Mahfud MD, menilai keberadaan parpol oposisi penting untuk menyeimbangkan pemerintahan. Selain itu, menurutnya, menjadi kubu oposisi bisa memberikan keuntungan bagi parpol tersebut..
Misalnya, PDI Perjuangan menjadi oposisi sejak 2004 hingga 2014. Kemudian PDI Perjuangan bisa menjadi parpol dengan perolehan kursi terbesar di DPR, dan bahkan calon yang diusungnya mampu menjadi presiden.
"Oposisi untuk masa depan partai itu bagus," jelas Mahfud MD.