REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panas matahari yang menyengat tak menyurutkan Nana Supriatna untuk menyemai benih kangkung di bantaran kali Kanal Banjir Timur (KBT), Jakarta Timur. Nana memanfaatkan lahan kosong di bantaran kali dengan dijadikan ladang pertanianterutama sayur-mayur, guna memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga.
"Kerja mah apa aja manfaatin lahan, yang penting bisa makan," kata Nana sambil memasukan satu per satu benih kangkung ke dalam tanah yang telah digemburkan.
Nana adalah satu dari puluhan warga yang memanfaatkan bantaran kali tak terpakai di KBT untuk dijadikan lahan pertanian atau perkebunan.
Sejak diinisiasi oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada 2018 lalu, masyarakat telah menjadikan bantaran KBT menjadi salah satu mata pencaharian di tengah sempitnya lahan hijau di Ibu Kota.
Beragam tanaman sayur dan tumbuhan yang memiliki nilai jual, seperti kangkung, cabai, sawi, singkong, terong, bayam, hingga tanaman bunga matahari menghiasi sepanjang bantaran KBT.
Keberadaan KBT awalnya berfungsi sebagai daerah penampungan dan serapan air yang sengaja dibangun oleh pemerintah DKI Jakarta. Kanal buatan seluas 207 kilometer persegi ini, difungsikan guna menampung air dari Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.
Meskipun dibuat untuk penampungan dan resapan air, seiring perjalanan waktu berbagai fungsi yang dapat dimanfaatkan warga sekitar. Kanal dengan panjang sekitar 23,5 km ini, membentang mulai dari Kebon Nanas, Jakarta Timur higga Pantai Marunda, Jakarta Utara.
Seorang petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) Duren Sawit, Sumartono, menjelaskan bahwa sebelumnya bantaran kali BKT itu dipenuhi sampah, alang-alang, dan pemukiman liar.
Kesadaran akan pentingnya kebersihan dan kenyamanan masih menjadi masalah utama yang mesti diselesaikan. Namun saat sebagian warga bersama petugas PPSU berinisiatif menanami sayuran, secara perlahan budaya malu membuang sampah sembarangan mulai terbangun. "Sampah-sampah dulu berserakan. Warga buang sampah aja ke pinggiran kali, seolah tak punya dosa," kata dia.
Sumartono merupakan satu dari belasan petugas PPSU yang bertugas untuk ikut serta dalam menanam dan merawat tanaman di BKT. Ia menjadi salah satu inisiator pembawa perubahan pola prilaku masyarakat sekitar.
Menurut dia, tanaman sayur seperti kangkung dan sawi menjadi primadona pertanian masyarakat di KBT. Pasalnya, masa panen komoditas itu bisa dua kali dalam sebulan.
"Satu panen bisa ngehasilin 450 ribu untuk kangkung, bayangin aja lumayan kalau sebulan dua kali panen. Cuman capek di awal, setelah itu cuman siram pagi-sore aja pas pulang kerja masyarakat tuh," kata dia.
Pekerjaan sampingan
Melihat potensi besar dari pemanfaatan lahan di bantaran kanal, warga mulai melirik pertanian sebagai pekerjaan sampingan. Sejak 2016, warga mulai membuka lahan, merapikan pinggiran sungai agar kontur tanah rata dan bisa ditanami tanaman.
Namun baru serius menekuni bidang pertanian pada 2018 saat Mentan Amran Sulaiman blusukan dan memberikan bantuan berupa bibit sayuran, alat dan mesin pertanian seperti pompa air, alat semprot, dan cultivator.
Saat itu Amran menyebutkan terdapat potensi lahan pertanian sepanjang 25 kilometer atau seluas 50 hektare yang dapat dikelola menjadi Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).
"Bisa dibayangkan ini panjangnya 25 kilometer, kalau ditanami cabai semua bisa mensuplai 30 sampai 50 persen untuk DKI Jakarta," kata Amran beberapa waktu lalu.
Menurut dia, jika lahan bantaran sungai BKT dikelola dengan serius, pasokan sayur-sayuran di Jakarta dapat ditingkatkan. Keuntungan dari KRPL ini selain masyarakat dapat menambah penghasilan dari penjualan cabai dan sayuran.
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak perlu lagi mengerahkan tenaga kerja untuk membersihkan alang-alang rumput pinggir sungai.
"Kalau dihitung, pinggir sungai ini 50 hektare, jika produksi 10 ton per hektare, bisa menghasilkan cabai hingga 500 ton. Ini akan menjadi percontohan, nanti akan masuk di daerah lain," katanya.
Ubay (29) salah satu warga Duren Sawit telah merasakan manfaat dari hasil bertani di BKT. Sehari-harinya, ia merupakan salah satu pekerja las di pinggir BKT. Untuk menambah penghasilan, ia menanam cabai dan kangkung di bantaran kali.
Ubay mengatakan tak butuh modal besar untuk jadi petani di BKT, hanya perlu meluangkan waktu dan tenaga untuk menggemburkan tanah agar bisa ditanami.
Biasanya ia menanam kangkung dan sawi, terlebih dua tanaman itu memiliki nilai jual yang lumayan. Untuk membeli satu kilogram bibit kangkung ia cukup mengeluarkan uang Rp 35 ribu, sementara sawi Rp 20 ribu per kilo. "Satu kilo kangkung kalau panen bisa dapet Rp 300 ribu, lumayan buat tambahan," kata dia.
Begitu pula dengan Roni Kurniawan, pekerjaan sehari-harinya adalah sopir ojek online. Namun pada pagi hingga sore, Roni adalah petani di BKT. Berbeda dengan Ubay, ia sengaja menanam cabai untuk kebutuhan dapur. Tujuan utamanya, meminimalisir pengeluaran kebutuhan sehari-hari.
Saat harga cabai tinggi terutama ketika bulan puasa, ia tak perlu risau layaknya mayoritas warga lainnya. Roni hanya tinggal memetik di kebun buatannya di bantaran kali. "Kita mah tinggal metik aja. Yang lain ngeributin harga, kita aman dan damai aja dah," kata dia.
Ia menjelaskan dengan ditanaminya berbagai macam tanaman dan tumbuhan, bantaran kali yang awalnya kumuh, secara perlahan menyumbang nilai estetika keindahan sungai.
Perubahan itu juga berpengaruh pada pola hidup masyarakat yang awalnya tidak peduli, kini merasa saling memiliki. Mereka sadar apabila membuang sampah maupun limbah secara sembarangan akan berdampak pada lingkungan sekitarnya.
Maka dari itu, kata dia, pemanfaatan lahan produktif di bantaran telah memberikan nafas baru bagi kehidupan warga di sepanjang kali BKT. "Sekarang banyak warga yang punya sampingan pendapatan. Bahkan ada yang keluar kerja untuk fokus jadi petani di sini," kata dia.
Tidak ada sistem kepemilikan sah untuk bisa bercocok tanam di BKT, semua orang bisa memanfaatkannya. Terlebih keuntungan dari Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) ini selain menambah penghasilan dari penjualan cabai dan sayuran, juga menjadi momentum bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat menjaga dan merawat sungai.