REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden RI terpilih periode 2019-2024 Joko Widodo diminta lebih mengutamakan memilih menteri yang memiliki keahlian dan kemampuan, ketimbang melihat dari sisi latar belakang politik. Meski pada periode kedua gerbong koalisi partai politik di pemerintahan bertambah panjang, Jokowi disarankan tidak sembarangan memilih menteri untuk kabinetnya di periode kedua.
"Presiden harus mementingkan keahlian. Sebab, kalau menteri nggak ahli, dia tidak akan bisa buat apa-apa. Kalau Jokowi pengen kerja, kerja, kerja, ya jangan sembarangan kerja/ tapi kerja berdasarkan keahlian," ujar Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Maswadi Rauf saat dihubungi Republika, Senin (1/7).
Maswadi tidak menampik keberadaan dukungan partai politik berperan dalam keterpilihan Jokowi-Ma'ruf sehingga menjadi pertimbangan Jokowi dalam mengisi menteri-menteri di kabinetnya. Namun, ia menilai sebaiknya Jokowi tetap menjadikan keahlian sebagai pertimbangan utama, baru setelahnya latar belakang parpol.
"Parpol dinomorduakanlah, sebab dia kan juga tidak bisa mengabaikan dukungan politik dari parpol-parpol itu. Jadi, dalam memilih itu yang pertama adalah profesionalisme, kedua dukungan parpol," ujar Maswadi. Menurut Maswadi, sebaiknya dikotomi menteri dari kalangan parpol maupun profesional dihilangkan saat menyusun kabinet.
Ia menilai, Jokowi dapat menggabungkan antara profesional dan latar belakang partai politik. "Sebab, orang partai juga kan ada profesional. Jadi, jangan dipilih semata-mata karena partai, tapi juga karena keahlian dan profesinya. Karena, kalau menterinya nggak ngerti persoalannya, gimana mengelolanya. Jadi, pilih dari parpol itu yang ahli, profesional, yang memahami lingkungan kerjanya," kata Maswadi.
Pada periode pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK), terdapat empat menteri koordinator dan 30 menteri. Sejak 2014 hingga 2019, Jokowi-JK melakukan empat kali perombakan terbatas.
Pada komposisi terkini, terdapat 13 menteri dari parpol, masing-masing empat dari PDIP, tiga dari PKB, dua dari Golkar, dua dari Nasdem, satu dari Hanura, dan satu dari PPP. Sisanya, terdapat 21 menteri dari jalur nonparpol, meski Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan belakangan mengungkapkan masih kader Golkar. Selain para menteri, Jokowi juga menunjuk Pramono Anung dari PDIP sebagai sekretaris kabinet dan Prasetyo yang sempat menjadi kader Nasdem sebagai jaksa agung.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Mahfud MD telah meminta Jokowi dan KH Ma'ruf segera mempersiapkan kabinet. Ia berharap orang-orang yang akan dipilih nanti tidak memiliki jejak korupsi.
Mahfud menekankan, sebaiknya Jokowi-Ma’ruf mengikuti saran yang sudah lebih dahulu disampaikan mantan ketua umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, yaitu agar Jokowi-Ma'ruf Amin membentuk zaken kabinet.
Kalau Jokowi pengen kerja, kerja, kerja, ya jangan sembarangan kerja/ tapi kerja berdasarkan keahlian," ujar Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Maswadi Rauf.
Dewan Ahli Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Maswadi Rauf
Artinya, kabinet diisi ahli dan profesional dalam bidang masing-masing. Namun, Mahfud menekankan, yang terpenting orang-orang itu tidak memiliki jejak terkait korupsi.
"Saya ikut sarannya Pak Syafii saja. Beliau sudah menyampaikan saran zaken kabinet. Kabinetnya ahli, kabinetnya profesional, tidak punya jejak korup," kata Mahfud, akhir pekan lalu.
Ia mengatakan, zaken kabinet itu bukan berarti tidak boleh berasal dari partai-partai politik. "Dari partai boleh. Dari partai banyak yang ahli, banyak yang profesional," ujar Mahfud.