REPUBLIKA.CO.ID, Cirebon yang namanya melekat dengan Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati banyak melahirkan kaum intelektual dan ulama. Kemajuan Kesultanan Cirebon di berbagai bidang telah mendorong penduduknya ke level yang lebih atas. Karenanya, Cirebon banyak meninggalkan manuskrip-manuskrip keagamaan.
Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Cabang Cirebon, Nurhata, mengatakan jumlah naskah keagamaan begitu melimpah di Cirebon. Seperti naskah tauhid, fikih, tasawuf, Alquran, hadis, dan kitab tauhid. Naskah-naskah tersebut ditulis dengan bahasa Arab, Jawa, Melayu, dan Sunda.
"Naskah tersebut menggunakan aksara Jawa, Arab, Jawi dan Pegon, sementara alas tulis yang digunakan yaitu kertas eropa, daluwang, lontar, dan kertas bergaris. Tapi kebanyakan naskah ditulis dengan bahasa Jawa dan aksara yang digunakan Pegon dan Jawa," kata Nurhata kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kegiatan penulisan naskah-naskah keagamaan bukan hanya berpusat di keraton Kesultanan Cirebon, melainkan penulisan juga dilakukan di berbagai tempat, menyebar di rumah-rumah penduduk dan pesantren.
Di sana dapat dijumpai berbagai naskah keagamaan meskipun tidak mudah untuk menemukannya. Namun kondisi naskah yang tersimpan di pesantren dan rumah penduduk memprihatinkan, tidak seperti naskah yang disimpan keluarga keraton.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Nurhata mengatakan naskah keagamaan paling tua yang ditemukan di Cirebon berjudul Petarekan. Terdiri dari 21 halaman, alas tulisnya menggunakan kertas eropa, ditulis dengan aksara Pegon dan berbahasa Jawa. Naskah disimpan di Keraton Kacirebonan.
"Isinya ajaran-ajaran Tarekat Syatariyah ditulis pada 1118 Hijriyah atau sekitar 1630-1631 Masehi, kondisi naskah rapuh dan banyak halaman yang sukar dibaca," ujarnya.
Nurhata menyampaikan, sejumlah naskah keagamaan ada yang terjemahan langsung dari teks asli. Tapi ada pula yang sudah diubah untuk disesuaikan dengan tingkat pemahaman masyarakat setempat. Sehingga masyarakat awam dapat memahami kandungan isi naskahnya.
Kemudian hasil dari proses adaptasi itu menghasilkan suatu naskah yang sangat kental dengan nuansa lokalnya. "Oleh masyarakat awam, naskah semacam itu lebih dikenal dengan istilah Petarekan yang biasanya berisi ajaran tasawuf atau masalah ketauhidan," jelasnya.
Sementara peneliti manuskrip Nusantara, Mahrus meyakini sebenarnya ada juga naskah-naskah Cirebon yang ditulis pada abad ke-15 dan ke-16. Tapi kemungkinan besar bahan-bahannya tidak bisa bertahan sampai sekarang, jadi rusak dan hancur. Sehingga sekarang naskah tertua yang ditemukan hanya berasal dari abad ke-17.
"Mengenai konten naskah-naskah Cirebon, menurutnya tidak hanya naskah keagamaan tapi ada juga naskah tentang pangan dan ilmu pertanian, pengobatan, sejarah, dan perimbon," kata Mahrus.
Menurut temuannya, pada umumnya naskah-naskah Cirebon menggunakan bahasa Jawa Cirebon. Berbeda dengan bahasa Jawa yang sekarang dipakai masyarakat Jawa. Bahasa Jawa Cirebon sedikit mengandung bahasa Jawa kuno.
Pada umumnya naskah-naskah di Cirebon menggunakan aksara Jawa, Pegon, Jawi dan Arab. Tapi ada juga yang menggunakan aksara Jawa kuno, hampir mirip dengan aksara Sanskerta.
Mengenai bahan yang digunakan untuk menulis naskah kebanyakan dari daluang dan kertas eropa. "Usia naskah Cirebon yang saya temukan paling tua dari abad ke-17, naskah yang diidentifikasi tertua di Cirebon," jelas Mahrus.