REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan pada 2020 mendatang, mekanisme tariff adjustment atau penyesuaian tarif bakal diimplementasikan. Hal itu ditempuh sebagai upaya untuk mengurangi beban keuangan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada tahun depan.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengatakan, dengan diimplementasikannya mekanisme penyesuaian tarif secara penuh, kemungkinan biaya tarif dasar listrik untuk 12 golongan nonsubsidi dapat berubah-ubah setiap tiga bulan. Dengan kata lain, terdapat potensi kenaikan tarif dasar lisrik.
"Sementara ini, dalam rangka mengurangi beban APBN, pemerintah mengambil kebijakan untuk mulai menerapkan tariff adjustment di 2020," kata Rida di gedung Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta, Selasa (2/7).
Namun, Rida menegaskan, mekanisme tersebut agar tidak diterjemahkan bahwa harga listrik dinaikkan. Sebab, penyesuaian tarif bisa juga berdampak pada penurunan harga selama komponen biaya pokok produksi dalam negeri menurun.
Sebagaimana diketahui mekanisme penyesuaian tarif untuk golongan listrik non subsidi sebetulnya telah berlaku sejak 2014 silam. Namun, semenjak 2017 pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan atau menurunkan tarif listrik. Dengan kata lain, tarif listrik yang diterima masyarakat saat ini berada pada posisi stabil.
Penyesuaian tarif itu dilakukan per tiga bulan dengan mempertimbangkan tingkat harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dolar AS, serta laju inflasi nasional. Ketiga komponen tersebut masing-masing memiliki bobot untuk menentukan apakah tarif harus dinaikkan atau diturunkan.
"Jadi, nanti kemungkinan grafik tarif listrik lurus terus sepeti saat ini itu kecil. Jadi, mengikuti pola seperti tahun 2016," kata dia.
Menurut Rida, adanya penyesuaian tarif juga bakal meminimalisasi besaran kompensasi biaya listrik yang ditanggung pemerintah kepada PLN. Kompensasi yang dimaksud, yakni selisih antara harga listrik yang diterima masyarakat dan harga ideal listrik itu.
Istilah kompensasi digunakan lantaran pembayaran yang dilakukan pemerintah terhadap PLN tidak melalui mekanisme persetujuan DPR. Pembayaran yang dilakukan pemerintah atas persetujuan DPR disebut sebagai subsidi.
Sementara itu, pada 2019, Rida memastikan tarif listrik tidak akan mengalami kenaikan atau penurunan hingga akhir tahun. Hal itu berdasarkan arahan langsung Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM Ignasius Jonan. "Sampai akhir tahun ini sudah diputuskan tarif akan tetap," kata Rida.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Hendra Iswahyudi, mengatakan, sepanjang kuartal I dan II tahun ini, akibat tidak adanya penyesuaian tarif, pemerintah ditaksir harus membayar kompensasi listrik kepada PLN. Hal itu akibat biaya pokok produksi listrik mengalami kenaikan dan mendongkrak harga keekonomian, sehingga terdapat selisih harga.
Hendra mencatat, pada kuartal I 2019, besaran kompensasi ditaksir mencapai Rp 8,4 triliun. Pada kuartal II total kompensasi mencapai Rp 13,71 triliun dan pada kuartal III diperkirakan besaran kompensasi mencapai Rp 20,83 triliun. "Kita lihat di kuartal IV kalau harga listrik membaik (turun) maka kompensasi akan kecil," kata dia.
Sementara itu, Plt Direktur Utama PLN, Djoko Rahardjo Abumanan, mengatakan, PLN sebagai operator tentu bakal patuh kepada keputusan pemerintah. Sebagai operator, Djoko mengatakan, PLN tidak bisa menentukan kebijakan tarif listrik karena tidak memiliki kewenangan.
Jika PLN merugi akibat tidak adanya penyesuaian tarif, akan berdampak juga terhadap keuangan negara. Sebaliknya, jika PLN mendapatkan keuntungan pun, negara yang mendapatkan manfaat. Karena itu, kata Djoko, setiap kebijakan dalam tarif listrik tentunya memiliki konsekuensi tersendiri yang harus ditanggung oleh PLN dan pemerintah.
"PLN dan pemerintah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan. Jadi, ketika PLN merugi maka negara juga harus mendampingi," ujar dia.