REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan revisi terhadap penambahan modal bagi perusahaan asuransi eksisting. Poin yang dimaksud adalah mengurangi kewajiban keikutsertaan badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia saat melakukan penambahan modal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, regulasi yang dituju adalah Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Kepemilikan Asing pada Perusahaan Perasuransian. Di situ, tertulis bahwa perusahaan asuransi dengan kepemilikan asing hingga 80 persen yang mendapatkan fasilitas grandfathering dan ingin menambah modal, wajib mengikutsertakan pihak lokal.
"Nantinya, mereka tidak dapat pembatasan tersebut," ujarnya dalam rapat di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (3/7).
Grandfathering diberikan kepada perusahaan pengasuransian dengan kepemilikan asing melebihi 80 persen pada saat PP 14/2018 diteken pada April 2018.
Dalam Pasal 6, tertulis bahwa perusahaan dengan fasilitas grandfathering harus menyertakan partner lokal saat ingin menambah modal. Mereka harus mengikuti satu dari dua ketentuan yang harus diikuti, yakni sedikitnya 20 persen diperoleh dari badan hukum Indonesia dan/ atau warga negara Indonesia. Poin kedua, sedikitnya 20 persen melalui penawaran perdana saham di Indonesia.
Tapi, Sri menjelaskan, perusahaan asuransi terkait kerap merasa sulit saat melakukan penambahan modal disetor. Sebab, tidak mudah bagi mereka untuk mendapatkan partner lokal yang sesuai.
"(Yaitu) yang memiliki dana dan keinginan untuk meletakkannya di institusi asuransi dalam jangka panjang," tuturnya.
Sri menekankan, rencana revisi regulasi ini dibuat atas masukan perusahaan asuransi kepada pemerintah. Melalui perubahan ini, ia optimistis akan memberikan dampak positif bagi industri asuransi karena mampu menjadi sumber investasi besar bagi perusahaan lokal.
Mencari investor untuk industri asuransi bukan pekerjaan mudah. Sebab, menurut Sri, industri ini membutuhkan modal besar dengan jangka waktu pengembalian modal yang panjang. "Tidak bisa mendapatkan quick yield dan quick profit," ujar Sri.
Di sisi lain, penetrasi dan densitas industri asuransi dalam negeri masih rendah. Oleh karena itu, investasi asing patut diberikan keleluasaan untuk dapat meningkatkan kesadaran berasuransi masyarakat Indonesia. Khususnya, mereka yang memiliki pengalaman dan kapasitas besar.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal Arif Baharudin menjelaskan, konsep revisi yang diajukan saat ini diberi nama strong grandfathering. Mereka tetap diberi keharusan untuk menyertakan rekanan lokal, tapi tidak mutlak di angka 20 persen.
Arif memberikan contoh, sebuah perusahaan asuransi joint venture (patungan) dengan porsi kepemilikan asing 90 persen, semula hanya bisa melakukan penambahan modal maksimum 80 persen. Tapi, dengan revisi ini, mereka dapat menambah modal dengan proporsi maksimum 90 persen. "Sisanya, tetap harus rekanan lokal," ucapnya.
Arif juga menjelaskan, dampak pada industri asuransi, aset asuransi penerima grandfathering adalah 28 persen dari total aset industri. Artinya, potensi kepemilikan lokal dan publik untuk tumbuh masih besar, dan asing tidak akan mengambil alih posisi domestik.
Sementara itu, perusahaan asuransi patungan yang sudah menerima fasilitas grandfathering selama 2015 hingga 2018, mereka sudah melakukan penambahan modal Rp 9,9 triliun. Di mana, 98 persen di antaranya berasal dari asing.
"Hanya Rp 204 miliar atau dua persennya berasal dari domestik," kata Arif.