Rabu 03 Jul 2019 18:34 WIB

Harga Garam Jabar Anjlok, Apgasi Salahkan Tata Kelola Impor

Impor garam dinilai tak diawasi ketat akibatnya merembes ke berbagai sektor.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Teguh Firmansyah
Petani memanen garam perdana pada musim olah tahun 2019 (ilustrasi).
Foto: Antara/Saiful Bahri
Petani memanen garam perdana pada musim olah tahun 2019 (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Kebijakan impor garam yang tanpa pengawasan ketat dituding sebagai penyebab tak lakunya garam lokal milik petambak. Tak hanya stoknya yang menumpuk di gudang, harga garam lokal juga semakin terjun bebas.

Ketua Asosiasi Petani Garam (Apgasi) Jawa Barat, M Taufik, menjelaskan, kondisi garam petambak yang tak laku terjual dan harganya jatuh itu tersebar di daerah sentra garam di Jabar, yakni Cirebon dan Indramayu. Adapun jumlahnya mencapai puluhan ribu ton.

Baca Juga

Garam yang menumpuk tersebut merupakan sisa produksi garam pada 2018. "Kondisi itu terjadi karena regulasi pemerintah yang tidak berpihak pada nasib petambak garam,’’ tukas Taufik kepada Republika.co.id, Rabu (3/7).

Taufik menjelaskan, pada 2018 lalu, pemerintah mengimpor garam. Namun, impor dilakukan tanpa pengawasan yang ketat. Akibatnya, garam impor merembes ke berbagai sektor yang sebenarnya menjadi pangsa pasar bagi garam lokal.

Taufik mencontohkan, untuk usaha ikan asin, selama ini selalu menggunakan garam lokal milik petambak. Namun, pada tahun lalu, garam impor juga digunakan oleh para pengusaha ikan asin. Kondisi itu menyebabkan garam lokal milik petambak menjadi tidak terserap.

Taufik mengakui, garam impor memang masih dibutuhkan untuk kepentingan industri. Namun, kebijakan impor itu harus disertai dengan pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya. "Pemerintah harus mencabut (izin) importir-importir yang nakal,’’ tegas Taufik.

Menurut Taufik, menumpuknya garam sisa produksi 2018 itu dipastikan akan bertambah. Pasalnya, saat ini para petambak sudah memulai masa panen garam 2019.

Apalagi, berdasarkan prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), tahun ini dinilai menjanjikan untuk peningkatan produksi garam petambak. Namun sayang, kondisi tersebut tidak diimbangi dengan tingginya penyerapan maupun harga garam di tingkat petambak.

Tak hanya stoknya yang menumpuk, lanjut Taufik, harga garam petambak juga sangat jatuh. Saat ini, harga garam di tingkat petambak hanya di kisaran Rp 300 – Rp 400 per kilogram. Padahal saat awal musim panen pada 2018, harga garam di tingkat petani menyentuh Rp 1.200 per kilogram. "Saat ini baru mulai panen perdana. Bagaimana nanti saat panen raya? Harga garam terjun bebas,’’ keluh Taufik.

Taufik berharap, pemerintah bisa memperhatikan tata kelola garam. Dengan demikian, nasib petambak garam bisa terlindungi. Jika tidak, maka animo petambak untuk menjalankan usaha tambak garam bisa menurun.

Selain itu, Taufik juga meminta agar perusahaan-perusahaan besar yang menyerap garam impor dalam jumlah banyak, bisa memberikan kontribusinya kepada para petambak. Salah satunya bisa melalui dana CSR perusahaan yang digunakan untuk menyerap garam lokal milik petambak.

Minim pembeli

Sementara itu, salah seorang petambak garam di Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Robedi, menyebutkan, garam sisa produksi 2018 di daerahnya yang masih menumpuk mencapai sekitar 30 ribu ton. Menurutnya, kondisi itu terjadi karena permintaan garam pada 2018 lalu sangat rendah. "Jarang sekali ada yang mau beli garam. Bahkan penyerapan garam dari perusahaan-perusahaan juga tidak ada sama sekali," tutur Robedi.

Robedi mengatakan, para petambak garam di daerahnya saat ini pun sudah memulai kembali masa panen garam 2019. Namun, mereka kebingungan karena hal itu membuat tumpukan garam semakin bertambah. "Tidak tahu ini garamnya mau ditaruh dimana. Garam tahun kemarin saja masih belum laku,’’ tutur Robedi.

Robedi menambahkan, harga garam di tingkat petambak di daerahnya saat ini hanya mencapai Rp 400 per kilogram. Padahal, untuk bisa meraup keuntungan, maka harga garam di tingkat petambak semestinya minimal Rp 700 per kilogram.

Robedi mendengar informasi bahkan kondisi tersebut terjadi akibat kebijakan impor yang dilakukan pemerintah pada tahun lalu. Dia pun mengaku kecewa karena nasib petambak garam tidak terlindungi. "Gak tahu gimana ya pemerintah tuh,’’ keluh Robedi.

Robedi berharap agar ada solusi agar garam milik petambak bisa segera terserap. Selain itu, harga garamnya juga bisa meningkat sehingga petambak tidak mengalami kerugian.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement