REPUBLIKA.CO.ID, Sikap ilmiah yang mendasari studi hadis dalam abad modern mendapatkan serangan dari Barat, khususnya kalangan orientalis. Brown menyebut, salah seorang orientalis yang paling tajam menyuarakan keraguan autentisitas hadis adalah William Muir (meninggal 1905).
Bagi Muir, hadis bukanlah perkataan atau rekaman perbuatan Nabi Muhammad SAW, melainkan cerminan ambisi dari generasi-generasi Muslim tertentu sesudah wafatnya Nabi. Sebagai informasi, Muir sendiri bekerja sebagai peneliti dan staf kolonial Inggris di India.
Dengan lantang, lanjut Brown, Muir mengajak para orientalis Eropa menolak sedikitnya setengah dari isi Shahih Bukhari. Muir juga menilai, studi hadis yang dimulai dari generasi tabiin tidak berguna sama sekali lantaran hanya berfokus pada sanad, alih-alih kandungan teks hadis itu sendiri.
Nada kecaman Muir ini diteruskan oleh orientalis berikutnya yang kelahiran Hungaria, Ignaz Goldziher (meninggal 1921). Sebagaimana sejarawan mazhab Jerman, Goldziher mengkaji sejarah klasik Islam dengan pendekatan skeptis.
Goldziher lantas menyebut posisi hadis lemah. Sebab, lanjut dia, tidak ada dokumentasi tertulis mengenai kehidupan Nabi Muhammad dalam masa hidupnya. Selain itu, hadis lebih mengandalkan tradisi lisan sehingga diragukan autentisitasnya.
Lebih lanjut, Goldziher bahkan mengatakan, hadis tidak memuat perkataan atau perbuatan Nabi SAW, melainkan hanya cerminan aspirasi dari suatu masyarakat Muslim dalam zaman tertentu.
Kalangan orientalis bahkan menuduh salah seorang sahabat Nabi SAW, Abu Hurairah, hanya membuat-buat teks sehingga dinamakan hadis. Dengan begitu, orientalis ini memandang hadis utamanya berperan sebagai alat manipulasi politik oleh sekelompok Muslim.
Bagaimanapun, Brown menilai kritis skeptisme para orientalis abad ke-20 itu. Menurut Brown, Goldziher sendiri bersikap manipulatif terhadap klaim-klaimnya sendiri. Karena itu, mudah bagi para orientalis demikian untuk salah mengartikan bukti-bukti historis penting mengenai sejarah penghimpunan hadis.
Pandangan skeptis buta Goldziher seakan-akan menuduh ahli hadis cenderung berani berbohong atas nama Nabi Muhammad SAW demi kepentingan patron politik mereka. Yang luput dari kajian para orientalis demikian adalah pemilahan para perawi yang kompeten daripada yang nirkompeten atau bahkan sekadar tukang cerita.
Para pembelajar hadis yang amat tekun, khususnya penulis Shahihan yakni Imam Bukhari dan Imam Muslim, tentu saja tidak pernah menerima perawi nirkompeten atau tukang cerita. Poin perbedaannya adalah pada kepercayaan (trust). Para ilmuwan terkemuka Muslim itu memandang para sahabat, tabiin, dan tabiit-tabiin sebagai sosok yang pantang berdusta.
Sementara itu, kaum orientalis leluasa menuduh mereka rela menukar informasi dari Rasulullah SAW hanya demi kepentingan politik. Semestinya, ilmuwan Barat itu mempelajari studi hadis secara jujur dan terbuka, alih-alih tendensius.ed: nashih nashrullah