Kamis 04 Jul 2019 11:00 WIB

Memahami Kata 'Nur'

Alquran Menyebutkan kata nur sebanyak 33 kali.

Alquran
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata satu ini disebut dalam Alquran sebanyak 33 kali. Kata nur kerap digandengkan dengan kata ganti persona pertama, kedua, dan ketiga, yaitu dia, kamu, kami, dan mereka.

Filsuf Muslim, Syihabuddin Yahya Suhrawardi, sebagaimana dijelaskan pengkaji filsafat Islam, Prof Michael Marmura dalam The Encyclopedia of Religion, menyatakan bahwa nur adalah sesuatu yang tidak material dan tidak juga terdefinisikan. Asalnya, adalah cahaya segala cahaya atau nur al-anwar, yaitu Allah. Ketika Dia beremanasi, muncullah alam raya.

Prof Quraish Shihab dalam Tafsir al- Misbah menjelaskan kata nur dalam surah an-Nur ayat 35 berarti sesuatu yang menjelaskan atau menghilangkan kegelapan, sesuatu yang sifatnya gelap atau tidak jelas. Nur digunakan dalam pengertian hakiki untuk menunjukkan sesuatu yang memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda di sekitarnya. Nur merupakan sesuatu yang dapat dilihat mata. Indra penglihatan ini mampu mengamati benda yang disinari cahaya. Nur pun bersifat terang dan menerangi.

Kata ini juga digunakan dalam pengertian kiasan untuk menunjukkan sesuatu yang menjelaskan hal-hal bersifat abstrak. Pancaindra manusia juga bisa disebut nur karena mampu menangkap berbagai hal sesuai dengan kemampuan indra.

Akal juga dinamai nur karena kemampuannya menganalisis sesuatu membuat segala hal terjelaskan. Ilmu juga disebut nur karena berfungsi menghilangkan kekaburan dan kegelapan yang menyelubungi benak seseorang.

Kata ini terdiri atas huruf “nun”, “wau”, dan “ra”. Ensiklopedia Alquran: Kajian Kosakata menerangkan, tidak kurang dari sepuluh makna terkandung nur. Pertama adalah agama Islam, kedua adalah iman, ketiga adalah pemberi petunjuk, keempat adalah Nabi Muhammad SAW, kelima cahaya siang.

Keenam adalah cahaya bulan, ketujuh adalah cahaya yang menyertai kaum mukmin ketika menyeberangi shirath, kedelapan penjelasan tentang halal dan haram yang terdapat dalam Taurat, kesembilan adalah injil, dan terakhir adalah Alquran.

Filsuf Muslim, Ibnu ‘Arabi, mengemukakan enam pendapat ulama mengenai makna nur yang menjadi sifat Allah. Pertama, bermakna pemberi hidayah bagi penghuni langit dan bumi, kedua pemberi cahaya, ketiga penghias, keempat adalah yang zahir atau tampak dengan jelas, kelima adalah pemilik cahaya, dan terakhir adalah cahaya, tetapi bukan seperti cahaya yang dikenal.

Pakar tafsir, Thabathaba’i, menjelaskan penyifatan Allah sebagai cahaya menunjukkan diri-Nya merupakan wujud paling nyata. Tidak ada sesuatu pun yang tidak mengenal-Nya karena semua yang wujud dan tampak adalah limpahan dari penampakan-Nya.

Thabathaba’i juga menjelaskan nur bersifat khusus, seperti yang tertuang dalam kalimat matsalu nurihi dalam surah an-Nur ayat 35. Cahaya khusus yang dimaksud adalah yang menerangi jalan orang-orang beriman. Itu adalah cahaya makrifat yang dengannya hati mereka memperoleh petunjuk pada saat kiamat tiba.

Ulama banyak berbeda pendapat mengenai nur sebagai sifat Allah, namun mereka sepakat pada pendapat Ibnu ‘Arabi yang terakhir karena tidak ada sesuatu yang menyerupai Allah.

Kata nur juga dikemukakan dalam konteks uraian tentang manusia, baik dalam kehidupan di dunia maupun akhirat, mengandung makna hidayah dan petunjuk Allah atau dampak dan hasilnya.

Alquran menjelaskan bahwa cahaya bulan sebagai nur atau nur al-qamar karena cahayanya merupakan pantulan. Sedangkan, cahaya yang berasal dari dirinya sendiri, seperti matahari, api, dan kilat, sebagai dhiya atau penerang. Namun demikian, semua cahaya berasal dari cahaya Allah, sebagaimana tertulis dalam surah al-An’am ayat pertama.

“Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi dan menjadikan nur atau cahaya dan gelap unruk seluruh yang ada di alam raya.”

Ayat tersebut mempertegas kedudukan Allah sebagai pemilik cahaya atau apa yang dinamakan Suhrawardi sebagai nur  al-anwar.

Allah adalah pemberi cahaya kepada langit dan bumi, baik cahaya yang bersifat material, yang dapat dilihat dengan mata kepala maupun imaterial yang berupa cahaya kebenaran, keimanan, pengetahuan, dan lainnya yang dirasakan hati.

Cahaya petunjuk Allah bertingkat-tingkat. Betapa pun terangnya cahaya yang diraih seseorang maka masih ada cahaya yang terang melebihinya. Ketika seseorang meraih cahaya yang melebihi itu, cahaya yang diraih sebelumnya relatif gelap. Itu sebabnya, mereka yang sudah meraih petunjuk Allah akan memperoleh petunjuk lainnya yang juga dari Allah.

Kata nur dalam Alquran selalu digunakan dalam bentuk tunggal. Berbeda dengan lawan katanya, kegelapan (zhulumat). Kata tersebut selalu berbentuk jamak. Prof Quraish Shihab menjelaskan hal ini untuk mengisyaratkan sumber cahaya hanya satu, yaitu Allah SWT.

sumber : Dialog Jumat Republika/Erdy Nasrul
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement