Kamis 04 Jul 2019 16:40 WIB

Tingginya UMR di Jatim Hambat Industri Padat Karya

Perlu kebijakan khusus di industri padat karya

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Warga rumah susun menjahit alas kaki
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Warga rumah susun menjahit alas kaki

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Asosiasi Persepatuan Jawa Timur Winyoto Gunawan mengungkapkan, industri padat karya di Jatim, terutama sektor alas kaki mengalami hambatan pertumbuhan. Menurut Winyoto, hambatan utama yang dialami industri alas kaki di Jatim adalah tingginya kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang tidak sesuai dengan pertumbuhan industri tersebut.

Winyoto melanjutkan, di Jawa Timur ada sekitar 50 industri alas kaki, dengan jumlah tenaga kerja sekitar 100 ribu. Sebagian besar industri alas kaki tersebut tersebar di wilayah ring 1 Jatim, atau tepatnya di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, dan lain sebaginya. Artinya UMR di wilayah tersebut sebesar Rp 3,8 juta.

"Untuk alas kaki yang di Jatim saat ini kita mengalami banyak hambatan. Pertama dengan naiknya UMR. Alas kaki di jatim ada 50 perusahaan menengah dengan tenaga kerja 100 ribu. Kami berharap pemerintahan dapat membantu industri alas kaki di Jatim ini," ujar Winyoto dalam acara bincang ekonomi Jatim dengan tema 'Menakar Masa Depan Industri Manufaktur Jawa Timur' di Hotel Majapahit Surabaya, Kamis (4/7).

Winyoto merasa, perlu kebijakan khusus di industri padat karya, khususnya terkait suku bunga pinjaman yang dirasanya masih tinggi dibanding negara lainnya. Winyoto juga mengharapkan pemerintah setempat memberi kemudahan perizinan dalam berusaha.

"Kalau kita mau geser ke ring 2 dan ring 3 di wilayah Jatim misalnya, ya dipermudah, bahkan kalau bisa digratiskan. Ya biar kita bisa terus tumbuh. Kan tidak kecil biaya pemindahan tersebut," ujar Winyoto.

Masalah lainnya, lanjut Winyoto, adalah kesulitan dalam melakukan ekspor. Tidak saja sulit dalam urusan administrasi, tetapi juga persaingan pasar yang lebih kompetitif.

"Dulu itu Indonesia nomor satu eskpornya. Sekarang di urutan keenam kalah sama Vietnam. Industri alas kaki di Eropa Timur juga mulai tumbuh, mulai membuka lebar-lebar untuk investasi. Ini juga yang menjadi masalah kami," kata Winyoto.

Masalah lain yang dirasanya tak kalah krusial adalah terkait keamanan dan ketenangan iklim industri. Dimana akhir-akhir ini banyak sekali aparat kepolisian yang melakukan sidak-sidak ke tempat industri. Bahkan pada sidak yang dilakukan, sering kali industri diposisikan seolah-olah melanggar pidana.

"Banyak sidak mengenai limbah B3 lah, apa lah, yang seolah-olah kami melakukan pelanggaran pidana. Harusnya dengan cara bersifat pengarahan dan pembenahan. Yang belum sesuai beri waktu untuk memproses," ujar Winyoto.

Tidak saja sektor alas kaki, industri padat karya mebel dan kerajinan di Jawa Timur juga mengalami kendala pertumbuhan. Hal itu diakui Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia, Nur Cahyudi. Masalah utamanya, kata dia, juga terkait Upah Minimum Kabupaten (UMK).

"Upah sekarang ini tidak berdasarkan survei tapi berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kalau ini tetep dipaksakan patokannya, itu terlalu berat. Sekarang UMK kita Rp 3,8 juta, kalau ini naik terus belum tentu industri padat karya bisa tetap bertahan," ujar Nur Cahyudi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement