REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk menaikkan harga bea materai menjadi Rp 10 ribu dan berlaku satu tarif mendapat sorotan dari sejumlah masyarakat. Beberapa menilai hal itu memberi beban bagi orang-orang yang menggunakan materai dalam berbagai transaksi dokumen yang bersifat perdata.
Salah satu warga, Mitzy Adella mengatakan ia kerap menggunakan materai untuk berbagai keperluan. Salah satunya adalah saat bertransaksi di sejumlah bank. "Ya kalau bisa sih enggak usah naik harganya, cukup seperti sekarang," ujar Mitzy kepada Republika.co.id, Kamis (4/7).
Mitzy yang merupakan seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini mengatakan tidak masalah jika pemerintah ingin menerapkan satu tarif untuk bea materai. Ia menuturkan nilai bea materai Rp 6.000 paling ideal untuk ditetapkan. "Cukup satu tarif memang tepat, misalnya Rp 6.000 saja karena selama ini lebih sering digunakan yang nilainya segitu," jelas Mitzy.
Saat ini, terdapat dua jenis bea materai yang berlaku dalam masyarakat. Pertama adalah materai Rp 3.000 yang dikenakan dalam nilai atau penggunaan dokumen dengan nilai antara Rp 250 ribu hingga Rp 1.000.000. Sementara, materai Rp 6.000 digunakan untuk dokumen yang nilainya lebih dari Rp 1.000.000.
Kementerian Keuangan telah mengusulkan Rancangan Undang-undang (RUU) Bea Materai pada Rabu (3/7) kemarin. Usulan tersebut mencakup tarif bea materai, serta batasan pengeenaan bea materai.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perubahan nominal materai dilakukan atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kesejahteraan masyaeakat Indonesia karena dapat meningkatkan penerimaan pemerintah dari bea materai. Ia mengakui bahwa potensi penerimaan negara dari materai tempel saja selama ini mencapai Rp 3,8 triliun.
Selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa batas maksimal pengenaan bea materai Rp 6.000 dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Ia mengungkapkan bahwa pendapatan per kapita Indonesia terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.