REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam dan para ilmuwannya pernah berjaya di abad pertengahan. Is lam saat itu berhasil membuk tikan spiritualitas dan ilmu pengetahuan adalah satu kesatuan. Hingga abad modern, kejayaan para ilmuwan Islam abad pertengahan terus disebut. Wajar, mengingat ilmuwan Muslim yang menonjol dan memengaruhi dunia sangat jarang.
Hingga muncul sosok Samirah Musa di Mesir. Muslimah kelahiran 3 Maret 1917 ini bisa disebut ibu atom Mesir. Dialah wanita yang mendirikan Lembaga Energi Atom Mesir pada 1948, berselang beberapa hari setelah meletusnya Perang Arab- Israel. Samirah adalah sosok jenius yang dimiliki negeri Piramida.
Bukan hanya cerdas, ia juga mendobrak pakem dominasi laki-laki dalam ilmu pengetahuan modern. Mesir saat itu laiknya negara-negara terjajah lain yang tidak memberikan kesempatan besar bagi wanita untuk bersekolah. Sa mirah adalah anomali. Sejak kecil ba kat jeniusnya sudah terendus. Ke lak, ia akan dikenang sebagai salah seorang pakar nuklir yang ia dedikasikan untuk kemaslahatan umat.
Samirah kecil memang menonjol prestasinya dibanding teman-teman sebayanya. Di tingkat dasar, ia selalu meraih peringkat pertama mengalahkan siswa lain yang didominasi laki-laki. Bahkan, ia berhasil menulis buku tentang aljabar secara sederhana. Ia sengaja menulis buku itu untuk mempermudah siswa lain memahami ilmu eksak tersebut. Ayahnya sangat mendukung pengembangan bakat Samirah ini. Ayahnyalah yang memperbanyak buku aljabar sederhana karya Samirah dan membagikannya ke anakanak sekolah.
Selain ayahnya, Samirah benarbenar diperhatikan perkembangannya oleh guru yang bernama Nabawiyah Mu sa. Gurunya di tingkat dasar inilah yang meletakkan fondasi keilmuan Samirah. Nabawiyah juga seorang aktivis pendidikan perempuan. Ia juga mendorong Samirah agar terus melanjutkan sekolah hingga jenjang tertinggi.
Akhirnya, Samirah melanjutkan ke sekolah negeri yang terkenal elite di Mesir. Di lembaga formal pemerintah itulah, lagi-lagi ia meraih peringkat atas dan mengalahkan teman-teman sejawatnya secara nasional, termasuk siswa laki-laki. Maka, tak ayal namanya melambung dan langsung men jadi sorotan media. Ia terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pengalaman mencari ilmu ia lanjutkan di Universitas Fuad I (kini dikenal dengan Universitas Kairo). Dalam perjalanan belajarnya, kerap kali ia menemukan kesulitan dan hambatan.
Beranjak dewasa, ia harus berhadapan dengan adat setempat yang menikahkan anak perempuan pada usia 18-20 tahun. Di setiap tingkat pendidikan, Samirah pun mengalami masalah yang terus berulang, yakni hak pendidikan kaum perempuan yang masih minim di Mesir. Meskipun begitu, Muslimah ini dengan tekad kuat berhasil melewati tantangan itu demi meraih cita-citanya.
Bakat dan kejeniusannya semakin terasah di dunia perguruan tinggi. Bahkan, ia terpilih menjadi asisten dekan saat usianya masih muda. Kemudian, pada 1947, Samirah berhasil meraih beasiswa di Inggris untuk bidang X-Ray selama tiga tahun. Sejak itu, kecintaan Samirah terhadap dunia nuklir dan atom semakin kental.
Ia merintis Lembaga Atom Mesir dari nol. Hari-harinya ditumpahkan untuk melakukan penelitian di sana. Terdapat dua alasan utama mengapa Samirah tekun mendalamai dunia atom. Pertama, untuk mendukung perkembangan sek tor industri. Dalam penelitian yang dilakukannya, ia berhasil menemukan elemen yang bisa meleburkan tembaga, hingga bahan bom atom yang sangat berharga. Alasan keduanya, untuk dapat dimanfaatkan dalam kepentingan pengobatan dan kesehatan. Terutama, dalam penyembuhan kanker melalui sinar X-Ray. Hal itu teguh ia lakukan, pascakematian orang tuanya akibat penyakit yang berbahaya itu.
Ia ingin memberikan kemudahan untuk masyarakat dalam mendapatkan pengobatan murah, yaitu dengan meman faatkan sinar itu. “Harapanku, pengobatan nuklir dapat diperoleh dengan murah laiknya aspirin,” ujarnya. Bakat dan kejeniusannya diakui oleh khalayak banyak saat itu hingga kini, hasil penelitiannya banyak memberikan kontribusi untuk perkembangan dunia pendidikan, kesehatan, dan industri. Tak hanya di dalam Mesir, tetapi bakat wanita kelahiran Sanbu Zafta ini diakui pula oleh khalayak internasional.
Bahkan, pembimbing disertasinya, Prof Melint menjuluki Samirah sebagai “Nyonya Korea dari Mesir” (Madam Koriya al Mishriyyah). Satu tahun sebelum ia wafat, tepatnya pada 1951, Samirah mendapatkan tawaran untuk melakukan penelitian di Universitas Saint Louis, Amerika Serikat (AS). Tujuan dari penelitian itu demi urgensi perdamaian dunia dan pengembangan nuklir oleh Mesir, hasil penelitian itu pun memuaskan. Dari keberhasilan itu, ia sempat mendapatkan tawaran untuk menetap di AS. Tapi, kecintaannya terhadap Mesir menepiskan semua tawaran itu. “Tanah air yang paling berharga bernama Mesir telah menantiku,” katanya.