REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia menyesalkan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait pengajuan peninjauan kembali (PK) yang dilakukan oleh terpidana kasus UU ITE, Baiq Nuril. Presiden Joko Widodo pun didesak untuk memberikan amnesti yang menurut mereka tak perlu menunggu korban untuk mengajukannya.
"Langkah ini (pemberian amnesti) tidak harus menunggu korban untuk mengajukannya," ungkap Peneliti Amnesty International Indonesia, Aviva Nababan, melalui keterangan persnya, Jumat (5/7).
Menurutnya, presiden, disertai pertimbangan DPR RI, dapat secara proaktif memberikan amnesti jika melihat adanya ketidakadilan terhadap seorang warga negara. Ia mengatakan, hal tersebut penting dilakukan oleh presiden sebagai upaya memberikan dukungan kepada para korban pelecehan seksual lain di Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus kriminalisasi yang tidak seharusnya mereka alami.
Aviva mengatakan, penolakan PK Baiq Nuril ini membuktikan sulitnya korban pelecehan seksual mencari keadilan. Korban bukan saja direndahkan, tetapi dengan mudah dianggap sebagai sumber atau pelaku kejahatan. "Ke depan, penolakan PK ini dapat membuat korban lainnya dari pelecehan seksual atau kekerasan seksual akan semakin takut bersuara," jelas dia.
Selain mendesak agar amnesti diberikan ke Nuril, SAFEnet dan Amnesty International Indonesia juga mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menghapus pasal-pasal karet di UU ITE, termasuk Pasal 27-29 UU ITE.
Pasal-pasal tersebut, kata dia, telah banyak digunakan untuk melawan ekspresi yang sah dalam standar hak asasi manusia internasional dan keberadaannya akan menggerus kebebasan berekspresi di Indonesia.
Sebelumnya, MA menolak pengajuan PK yang diajukan oleh Baiq Nuril, terpidana dalam kasus penyebaran konten bermuatan asusila. Alasan yang diajukan oleh pihak Baiq Nuril dalam mengajukan PK dinilai bukan sebagai alasan yang tepat, melainkan hanya mengulang fakta yang sudah dipertimbangkan pada putusan sebelumnya.
"PK Baik Nuril ditolak, artinya putusan pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi sudah benar. Perbuatan pidananya terbukti secara sah dan meyakinkan," ujar Ketua Bidang Hukum dan Humas MA, Abdullah, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Jumat (5/7).
Abdullah menerangkan, alasan yang digunakan oleh pihak Baiq Nuril dalam mengajukan PK bukan memakai alasan yang tepat. Alasan yang diajukan oleh Baiq Nuril, kata Abdullah, hanya mengulang-ulang fakta yang telah dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya.
Ditolaknya PK ini memperkuat vonis di tingkat kasasi yang menghukum Baiq Nuril enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsidier tiga bulan kurungan. Dalam kasus ini, Baiq Nuril mengaku mendapat pelecehan pada pertengahan 2012. Saat itu, Nuril masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram.