REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menanggapi rencana Kementerian Keuangan mengenakan cukai plastik pada pelaku usaha sebesar Rp 200 per lembar atau Rp 30 ribu per kilogram. Ketua YLKI, Tulus Abadi mengatakan jika melihat dampak negatif yang ditimbulkannya, menurutnya plastik pantas dikenai cukai.
Terlebih Indonesia tercatat sebagai negara kedua dengan pencemaran sampah plastik setelah Cina. Diperkirakan Indonesia menyumbang 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan. Karenanya menurut Tulus Pelu pemanahan yang serius.
Tulus mengatakan YLKI memahami rencana Kemenkeu menerapkan cukai pada plastik. Kendati demikian dengan sejumlah catatan diantaranya YLKI meminta agar Kemenkeu menjamin tujuan utama penerapan cukai plastik bukanlah instrumen untuk menggali pendapatan negara.
“Jangan jadikan cukai plastik untuk menambal ketidakmampuan atau kegagalan pemerintah dalam menggali pendapatan di sektor pajak. Tetapi cukai plastik adalah untuk instrumen pengendalian produksi dan konsumsi plastik, itu tujuan utama. Sedangkan pendapatan cukai hanyalah efek samping, sebagai bentuk 'pajak dosa' (disinsentif) pada produsen dan bahkan konsumen,” kata Tulus dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id pada Sabtu (6/7).
Lebib lanjut Tulus mengatakan kebijakan penerapan cukai plastik diharapkan hanya sementara atau dalam masa transisi. Dimana kedepannya produsen plastik diharapkan mampu membuat produk plastik yang bisa dikurangi secara cepat olah lingkungan.
Tulus juga meminta agar dana yang diperoleh dari cukai plastik, sekitar 10 persen harus dikembalikan untuk upaya promotif dan preventif. Seperti edukasi dan pemberdayaan agar masyarakat mempunyai kesadaran untuk mengurangi konsumsi plastik.
YLKI pun mendorong pemerintah untuk secara serius menanggulangi masalah plastik dari hulu hingga hilir. Menurut Tulus pemerintah seharusnya mewajibkan adanya produk plastik yang mengantongi SNI.
Sementara dari sisi hilir pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan pengendalian konsumsi plastik oleh konsumen, termasuk masalah plastik berbayar yang saat ini menurutnya belum jelas arah dan regulasinya. Tulus juga meminta pemerintah memfasilitasi pengolahan sampah plastik untuk didaur ulang menjadi produk lain yang lebih bermanfaat.
“YLKI juga mendesak untuk kalangan pelaku usaha/produsen untuk bertanggung jawab pada sampah plastik dari produk yang dijualnya untuk ditarik dan dikelola kembali dan meminimalisir cemaran yang dihasilkan,” katanya.