REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Nasional Perempuan Mahardika, Mutiara Ika, meminta Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) lekas disahkan. Pengesahan itu perlu dilakukan dalam merespons apa yang terjadi kepada terpidana UU ITE, Baiq Nuril.
"Sahkan RUU PKS. Dalam RUU PKS diakui sembilan bentuk kekerasan," ujar Mutiara dalam konferensi pers di kantor YLBHI Jakarta, Jakarta Pusat, Sabtu (6/7).
Mutiara menerangkan dari sembilan bentuk kekerasan yang ada pada peraturan tersebut, satu di antaranya adalah pelecehan seksual baik dalam bentuk tindakan fisik maupun nonfisik. Selain itu, RUU PKS juga mengakui keterangan korban sebagai syarat pembuktian.
"RUU ini pun mengakui keterangan korban, informasi elektronik sebagai alat bukti lain yang memberi peluang bagi korban untuk bisa memenuhi syarat pembuktian," jelas dia.
Sebelumnya, MA menolak pengajuan PK yang diajukan oleh Baiq Nuril, terpidana dalam kasus penyebaran konten bermuatan asusila. Alasan yang diajukan oleh pihak Baiq Nuril dalam mengajukan PK dinilai bukan sebagai alasan yang tepat. Melainkan hanya mengulang fakta yang sudah dipertimbangkan pada putusan sebelumnya.
"PK Baik Nuril ditolak, artinya putusan pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi sudah benar. Perbuatan pidananya terbukti secara sah dan meyakinkan," ujar Ketua Bidang Hukum dan Humas MA, Abdullah, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Jumat (5/7).
Ditolaknya PK ini memperkuat vonis di tingkat kasasi yang menghukum Baiq Nuril enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Dalam kasus ini, Baiq Nuril mengaku mendapat pelecehan pada pertengahan 2012. Saat itu, Nuril masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram.