REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Perempuan Mahardhika mendesak agar Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Desakan itu dilakukan setelah Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Baiq Nuril menjadi terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Kami menuntut amnesti oleh Presiden Jokowi untuk Baiq Nuril. Peningkatan partisipasi perempuan dalam bisnis, ekonomi dan politik tidak akan terwujud
ketika upaya perempuan untuk bebas dari belenggu kekerasan seksual tidak mendapat dukungan," tegas Sekretaris Nasional Perempuan Mahardika, Mutiara Ika, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Sabtu (6/7).
Mutiara Ika menilai amnesti merupakan langkah terakhir dan satu-satunya pilihan yang bisa menyelamatkan Baiq Nuril. Hukuman penjara bagi Baiq Nuril merupakan pukulan telak bagi pemerintah.
Padahal presiden Joko Widodo pernah menyampaikannya terkait perempuan dengan pembangunan nasional saat menghadiri Sesi II KTT G20. Pesan serupa juga disampaikan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementrian Ketenagakerjaan
pada Konvensi ILO untuk Mengakhiri Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
"Konvensi tersebut adalah jaminan perlindungan hak perempuan pekerja dari kekerasan dan pelecehan seksual," kata Mutiara Ika.
Baiq Nuril, kata ia, telah berjuang dan membela dirinya di tengah situasi kerja yang rentan pelecehan seksual. Jika la tetap akan dipenjara, maka pelecehan seksual yang dialaminya akan selamanya diingkari, dan tempat kerja akan terus menjadi lokasi yang rentan pelecehan seksual.
"Tindakan merekam ucapan pelaku adalah bentuk pembelaan yang ia lakukan, berharap rekaman ini menjadi bukti atas pelecehan seksual yang telah dialaminya," tutur Baiq Nuril.
Mutiara Ika juga menilai instrumen hukum di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodir beragam bentuk kekerasan seksual. Sehingga menjadikan kekerasan yang tidak disertai dengan bukti kekerasan secara fisik tidak bisa dianggap sebagai kekerasan. Maka pelecehan seksual verbal (non body contact) tidak bisa dianggap sebagai pelecehan. "Rekaman yang dimiliki Baiq Nuril justru menjadi barang bukti yang memberatkannya dan membuat pelaku bebas," keluh Mutiara Ika.
Sementara itu dalam putusannya, majelis hakim menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.