REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan syariah menghadapi sejumlah tantangan besar di 2019 ini. Salah satunya menentukan nasib Unit Usaha Syariah (UUS) apakah akan melakukan konversi menjadi Bank Umum Syariah (BUS) atau melakukan spin off sesuai amanat Undang Undang Perbankan Syariah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono, melihat spin off UUS adalah tantangan yang harus dioptimalkan menjadi peluang bagi perbankan syariah. "Jika dipersiapkan dengan baik, terutama aspek permodalan dan SDM, spin off UUS berpotensi besar mendorong perkembangan industri perbankan syariah sekaligus induk-nya," ujar Yusuf saat dihubungi Republika, Ahad (7/7).
Hal ini terutama jika spin off UUS mampu menghasilkan bank BUKU II, dengan modal inti Rp 1 triliun, dan bahkan bank BUKU III, dengan modal inti Rp 5 triliun. Dengan menjadi bank BUKU II bahkan bank BUKU III, BUS hasil spin off akan memiliki kelengkapan produk dan layanan yang akan menopang bisnis induk-nya, sekaligus mendorong daya saing dan perkembangan industri perbankan syariah secara keseluruhan.
Secara umum, Yusuf mengatakan, tantangan terbesar perbankan syariah setelah pilpres-pileg 2019 adalah masih melemahnya ekonomi domestik. Terutama, di sektor tradable yaitu industri manufaktur dan pertanian, di tengah ketidakpastian global akibat perang dagang AS-China.
Tekanan ekonomi global dan melemahnya harga komoditas telah menekan prospek pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran 5 persen. Sentimen positif dari pilpres-pileg 2019 yang berjalan damai diharapkan mampu mendorong optimisme pelaku ekonomi thp perekonomian.
Menurut Yusuf, sektor yang diproyeksikan dipilih untuk menopang pertumbuhan bisnis perbankan syariah adalah sektor yang berisiko rendah, sehingga ATMR (aktiva tertimbang menurut risiko) dan CAR (capital adequacy ratio) dapat terjaga. Sektor ini antara lain sektor konsumsi, terutama KPR yang didukung subsidi pemerintah, dan sektor korporasi dengan resiko rendah seperti BUMN dan perusahaan rating utang yang baik.
Sedangkan sektor yang rentan mengalami perlambatan adalah sektor penghasil komoditas seperti batu bara, migas dan sawit (CPO), serta sektor-sektor yang terkait erat dengan sektor penghasil komoditas ini seperti transportasi, listrik, dan bangunan terutama real estate. "Seiring perlambatan ekonomi global, sektor-sektor ini masih akan terus tertekan," tutur Yusuf.
Selain sektor-sektor tradisional yang rendah resiko, lanjut Yusuf, perbankan syariah dapat melakukan terobosan ke sektor-sektor prospektif. Diantaranya, sektor yang memiliki potensi mengambil untung dari perang dagang seperti pertanian, furniture, semen, LNG, garmen, ICT, dan otomotif. Di samping itu, bisa juga mengambil sektor yang tahan krisis seperti sektor UMKM.