Senin 08 Jul 2019 12:56 WIB

Jokowi tak Perlu Minta Pendapat MA untuk Amnesti Baiq Nuril

Presiden bisa langsung memberikan amnesti melalui pertimbangan DPR.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Baiq Nuril Maknun
Foto: Republika/Haura Hafizhah
Baiq Nuril Maknun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro, menyatakan, presiden tak perlu meminta pertimbangan atau pendapat dari MA untuk memberikan amnesti. Hal yang mengatur hal tersebut tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Kalau itu permohonan amnesti dan abolisi, yang memberikan pertimbangan dan pendapat sebelum presiden mempertimbangkan dan memutuskan adalah DPR," ujar Andi dalam konferensi pers di MA, Jakarta Pusat, Senin (8/7).

Baca Juga

Ia menjelaskan, dalam Pasal 14 UUD 1945 ayat 1 dinyatakan, permohonan grasi dan rehabilitasi dapat diajukan kepada presiden RI selaku kepala negara. Sebelum memutuskan apakah dikabulkan atau tidak, presiden terlebih dahulu perlu mendengar pertimbangan atau pendapat dari MA.

Lalu, ayat 2 pada pasal yang sama berbunyi, permohonan amnesti dan abolisi juga menjadi kewenangan Presiden RI selaku kepala negara. Bedanya, sebelum presiden memutuskan apakah akan dikabulkan atau ditolak amnesti itu, ia terlebih dulu perlu mendengar atau memerhatikan pendapat atau pertimbangan dari DPR.

"Jadi, bukan MA. Kalau grasi dan rehab itu MA yang memberikan pertimbangan kepada presiden," kata Andi.

MA sebelumnya menolak PK yang diajukan Baiq Nuril, terpidana dalam kasus penyebaran konten bermuatan asusila. Alasan yang diajukan oleh pihak Baiq Nuril dalam mengajukan PK dinilai bukan sebagai alasan yang tepat, melainkan hanya mengulang fakta yang sudah dipertimbangkan pada putusan sebelumnya.

"PK Baik Nuril ditolak, artinya putusan pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi sudah benar. Perbuatan pidananya terbukti secara sah dan meyakinkan," ujar Ketua Bidang Hukum dan Humas MA, Abdullah, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Jumat (5/7).

Abdullah menerangkan, alasan yang digunakan oleh pihak Baiq Nuril dalam mengajukan PK tidak tepat. Alasan yang diajukan oleh Baiq Nuril, kata dia, hanya mengulang-ulang fakta yang telah dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya.

Ditolaknya PK ini memperkuat vonis di tingkat kasasi yang menghukum Baiq Nuril enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsidier tiga bulan kurungan. Dalam kasus ini, Baiq Nuril mengaku mendapat pelecehan pada pertengahan 2012. Saat itu, Nuril masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram.

Karena putusan ini, Presiden Joko Widodo didesak untuk segera memberikan amnesti untuk Baiq Nuril. Amnesty International Indonesia menyesalkan putusan MA terkait pengajuan PK yang dilakukan oleh terpidana kasus UU ITE, Baiq Nuril. Mereka menjadi salah satu pihak yang mendesak presiden untuk memberikan amnesti.

"Langkah ini (pemberian amnesti) tidak harus menunggu korban untuk mengajukannya," ungkap peneliti Amnesty International Indonesia, Aviva Nababan, melalui keterangan persnya, Jumat (5/7).

Menurut dia, presiden disertai pertimbangan DPR RI, dapat secara proaktif memberikan amnesti jika melihat adanya ketidakadilan terhadap seorang warga negara. Ia mengatakan, hal tersebut penting dilakukan oleh presiden sebagai upaya memberikan dukungan kepada para korban pelecehan seksual lain di Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus kriminalisasi yang tidak seharusnya mereka alami.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement