REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro menyatakan, tudingan adanya maladministrasi yang dilakukan MA dalam memutus peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril tidak berdasar dan tidak relevan. Ia menjelaskan kedudukan Baiq Nuril sebagai terdakwa yang tidak masuk ke dalam kategori yang ada pada Peraturan MA (Perma) No. 3/2017.
"Selaku jubir MA saya menyatakan bahwa itu tidak relevan dan tidak berdasar, kalau dikatakan seperti itu," ujar Andi pada konferensi pers di MA, Jakarta Pusat, Senin (8/7).
MA sebelumnya telah mengeluarkan Perma No. 3 tahun 2017 tentang pedoman dalam menangani dan mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum. Dalam peraturan tersebut, Andi menjelaskan, perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang posisinya sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak.
"Nah, di dalam perkara yang kita sebutkan tadi ini berproses ini yang sampai PK ditolak itu, terdakwa (Baiq Nuril) di sini perempuan sebagai terdakwa bukan sebagai korban," tutur Andi.
Menurutnya, posisi Baiq Nuril dalam perkara yang ditangani MA adalah sebagai terdakwa, bukan korban, saksi, maupun pihak. Baiq Nuril baru bisa dilihat sebagai korban jika ia melaporkan kepada penyidik untuk perkara tersendiri dan berbeda dengan apa yang ditangani oleh MA ini.
"Kalau sebagai dia sebagai korban ya tentu ada jalur hukumnya. Ya bisa juga melaporkan kepada penyidik untuk perkara tersendiri sebgai korban," jelasnya.
Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu, menilai MA mengabaikan produk hukumnya sendiri, yakni Perma No. 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan dalam mengadili kasus Baiq Nuril. Ia menjelaskan, pertimbangan perma itu karena ingin memberikan perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi yang merupakan implementasi dari hak konstitusional.
"Potensi maladministrasi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur penanganan pada kasus Baiq, karena Hakim dalam mengadili kasus ini tidak mempertimbangkan proses sebagaimana yang diatur pada Perma No. 3 Tahun 2017," ujar Ninik melalui keterangan persnya, Ahad (7/7).
MA telah menolak pengajuan PK yang diajukan oleh Baiq Nuril, terpidana dalam kasus penyebaran konten bermuatan asusila. Alasan yang diajukan oleh pihak Baiq Nuril dalam mengajukan PK dinilai bukan sebagai alasan yang tepat, melainkan hanya mengulang fakta yang sudah dipertimbangkan pada putusan sebelumnya.
"PK Baik Nuril ditolak, artinya putusan pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi sudah benar. Perbuatan pidananya terbukti secara sah dan meyakinkan," ujar Ketua Bidang Hukum dan Humas MA, Abdullah, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Jumat (5/7).
Abdullah menerangkan, alasan yang digunakan oleh pihak Baiq Nuril dalam mengajukan PK bukanlah alasan yang tepat. Alasan yang diajukan oleh Baiq Nuril, kata Abdullah, hanya mengulang-ulang fakta yang telah dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya.
Ditolaknya PK ini memperkuat vonis di tingkat kasasi yang menghukum Baiq Nuril enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsidier tiga bulan kurungan. Dalam kasus ini, Baiq Nuril mengaku mendapat pelecehan pada pertengahan 2012. Saat itu, Nuril masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram.