REPUBLIKA.CO.ID, WINA – Perwakilan Permanen Rusia untuk Organisasi Internasional di Wina Mikhail Ulyanov mengatakan negaranya memahami alasan Iran menangguhkan satu per satu komitmennya dalam kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
“Kami memahami langkah-langkah yang diambil (Iran), alasan yang mendorong Iran mengambilnya. Kami menyerukan Iran menahan diri dari tindakan yang lebih lanjut yang dapat memperumit situasi dengan kesepakatan nuklir bahkan lebih,” kata Ulyanov kepada Sputnik pada Ahad (7/7).
Menurut dia, keputusan Iran untuk meningkatkan level pengayaan uranium tak terduga. Sebab, ia bertindak secara transparan. Di bawah JCPOA, Iran hanya diperkenankan memperkaya uranium pada level 3,67 persen. Namun, ia telah menyatakan akan melewati batas tersebut.
Ulyanov mengatakan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) akan memerlukan waktu untuk mengonfirmasi dan mengukur tingkat pengayaan terbaru itu. “Saya berharap ini tidak akan di atas lima persen,” ucapnya.
Kendati demikian, dia menilai hingga saat ini belum ada ancaman proliferasi nuklir. “Itu hanya sinyal lain bahwa Teheran mengharapkan keseimbangan JCPOA akan dipulihkan,” ujar Ulyanov.
Menteri Pertahanan Iran Amir Hatami tak memungkiri bahwa JCPOA mengalami kesenjangan peran. Menurut dia, selama ini negaranya telah sepenuhnya memenuhi komitmen JCPOA dan menjalankan kesabaran yang bertanggung jawab serta strategis. “Amerika yang mencampakkan JCPOA, dan Eropa, sementara mereka tidak meninggalkan perjanjian, praktis tidak melakukan hal lain,” kata dia.
“Republik Islam Iran telah memenuhi komitmennya, dan mulai sekarang, tingkat komitmen kami terhadap JCPOA akan sesuai dengan tingkat komitmen pihak lain. Ini adalah logika Iran yang solid dan dapat diterima,” ujar Hatami.
Iran menyatakan akan menangguhkan satu per satu komitmennya dalam JCPOA setiap 60 hari. Langkah itu hanya dapat dibatalkan jika negara-negara pihak yang masih tersisa di JCPOA, yakni Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, dan China, mengambil langkah untuk melindungi perekonomian negaranya dari sanksi AS, terutama terkait perdagangan minyak.
AS telah hengkang dari JCPOA pada Mei 2018. Presiden AS Donald Trump menilai kesepakatan itu cacat karena tak mengatur tentang program rudal balistik Iran dan perannya dalam konflik di kawasan.