REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan (rutan) di Jawa Barat mencapai 52 persen dengan jumlah penghuni saat ini sebanyak 23.861 orang. Padahal idealnya hanya diisi 15.658 orang.
Kepala Divisi Permasyarakatan Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat, Abdul Aris mengatakan kondisi tersebut dapat menimbulkan ketidakseimbangan kekuatan pengamanan di lapas. Apalagi petugas pengamanan di lapas tidak sebanding dengan jumlah warga binaan.
"Kondisi ini dinilai sangat rawan terutama ditinjau dari segi pengamanan. Sampai saat ini jumlah petugas pemasyarakatan di Jawa Barat hanya 3.354 orang," kata Aris di SOR Arcamanik, Kota Bandung, Senin (8/7).
Berdasarkan data Kemenkumham Kanwil Jabar, di wilayah Jawa Barat terdapat 40 unit pelayanan teknis (UPT) Pemasyarakatan. UPT itu terdiri atas 32 Lapas dan Rutan, satu LPKA, empat Bapas dan tiga Rupbasan.
Jumlah total penghuni lapas dan rutan tersebut terdiri atas 4.587 tahanan dan berstatus narapidana sebanyak 19.274 orang. Dari jumlah itu, yang terjerat kasus pidana umum sebanyak 11.775 orang. Sedangkan untuk jenis pidana khusus 12.086 orang.
Kemudian para penghuni penjara di Jawa Barat didominasi oleh warga binaan kasus narkoba. Saat ini ada 7.605 orang yang mendekam berstatus bandar, lalu 3.528 sebagai pengguna.
Kondisi tersebut diduga dapat menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah di Lembaga Pemasyarakatan. Antara lain, peredaran narkoba, hingga perkelahian antar napi menjadi salah satu faktor gangguan kondusivitas.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Jawa Barat, Liberti Sitinjak mengatkan tidak semua pelaku kasus tindak pidana ringan (tipiring) harus dimasukan kelapas atau rutan. Menurut dia, membangun sebuah ruangan lapas atau rutan membutuhkan biaya yang cukup mahal.
"Saya pikir kalau itu tipiring, tidak harus masuk (lapas), misalkan (yang terjerat) pasal 303 (tentang perjudian) di terminal, suruh saja wajib lapor ke kantor polisi, lama-lama kapok itu orang," kata Liberti.
Dia berharap kasus tipiring bisa diselesaikan di luar pengadilan sebelum lebih jauh masuk kelapas. Hal tersebut salah satu penyebab kelebihan kapasitas. "Yang sifatnya tipiring, saya lebih condong (menggunakan) keadilan restoratif, itu seperti UU Peradilan Pidana Anak, ada penyelesaian perkara di luar pengadilan," kata dia.