REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peninjauan Kembali (PK) Baiq Nuril ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, Baiq Nuril dan kuasa hukumnya berusaha untuk mengajukan amnesti.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly merespons kasus yang menimpa Baiq Nuril bukanlah kasus biasa. Ia menuturkan, jika kasus tersebut tidak diberikan bantuan hukum progresif, maka hal itu akan melukai perasaan banyak wanita lainnya.
Menurut menkumham, bisa jadi ada banyak wanita lain yang mengalami hal serupa. Mereka kemudian takut untuk melaporkan kekerasan seksual ataupun pelecehan seksual yang dialami.
"Mereka tidak berani bersuara karena orang yang harusnya korban justru dipidanakan," kata Yasonna di Kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Jalan Rasuna Said, nomor 6-7, RT 16/4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (8/7).
Menkumham menambahkan, kasus Baiq Nuril juga memiliki dimensi politik. Sehingga harus ditangani dengan baik. Dimensi politik yang dimaksud adalah soal relasi antara laki-laki dan perempuan. "Biasanya orang-orang yang menjadi korban pelecehan seksual itu yang dimanfaatkan adalah relasi kuasa yang lebih rendah. Contoh Ibu Nuril guru honorer lawannya kepala sekolah," ujarnya.
Di sisi lain, Menkumham berpendapat, ia tetap menghormati keputusan dari Mahkamah Agung. Menurutnya, Mahkamah Agung telah memutus berdasarkan kewenangan yang dimilikinya.
Pada Senin malam (8/7), Menkumham akan menggelar diskusi dengan pakar hukum. Hal itu ditujukan untuk merusmuskan argumentasi hukum yang baik guna mengusulkan grasi untuk Baiq Nuril.