Selasa 09 Jul 2019 06:21 WIB

Pengayaan Uranium Iran Lebihi Batas Kesepakatan Nuklir

Iran menyatakan pengayaan uranium akan digunakan hanya untuk tujuan damai.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Para teknisi sedang bekerja di pusat pemrosesan uranium di Iran.
Foto: reuters
Para teknisi sedang bekerja di pusat pemrosesan uranium di Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran telah melakukan pengayaan uranium melampaui batas 3,67 persen seperti telah diatur dalam kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), Senin (8/7). Teheran menegaskan siap menempuh langkah lebih jauh. 

Juru bicara Badan Energi Atom Iran Behrouz Kamalvandi mengatakan, tingkat pengayaan uranium negaranya saat ini telah mencapai di atas 4,5 persen. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang diberi mandat untuk memantau kepatuhan Iran dalam JCPOA diharapkan dapat segera mengonfirmasi hal itu. 

Baca Juga

Kendati demikian, Iran masih menyatakan bahwa pengayaan uranium itu dilakukan hanya untuk tujuan damai. Di sisi lain, level pengayaan yang saat ini telah dicapai masih sangat kurang untuk menghasilkan senjata nuklir. 

Pengumuman tentang peningkatan pengayaan uranium itu muncul sehari setelah juru bicara Pemerintah Iran Ali Rabiei mengatakan negaranya hanya menunggu beberapa jam untuk melampaui batas 3,67 persen. Namun, dia menegaskan langkah itu dilakukan murni berakar pada prioritas ekonomi. 

Pada Ahad lalu, Presiden AS Donald Trump memperingatkan Iran agar berhati-hati. “Iran sebaiknya Anda berhati-hati karena Anda memperkaya (uranium) karena satu alasan dan saya tidak akan memberitahu Anda apa alasannya, tapi itu tidak baik,” ujarnya, dikutip laman Aljazirah.

Trump tak menjelaskan langkah apa yang kemungkinan diambil AS merespons pengayaan uranium oleh Iran yang melampaui ketentuan JCPOA. Dia hanya menegaskan bahwa Teheran tidak akan pernah memiliki senjata nuklir.

Sementara, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan Iran akan menghadapi sanksi lanjutan. “Perluasan terbaru Iran atas program nuklirnya akan mengarah pada isolasi dan sanksi lebih lanjut. Negara-negara harus mengembalikan standar lama tak ada pengayaan untuk program nuklir Iran. Rezim Iran, dipersenjatai dengan senjata nuklir, akan menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi dunia,” kata Pompeo melalui akun Twitternya.

AS diketahui telah hengkang dari JCPOA pada Mei 2018. Trump menilai kesepakatan itu cacat karena tak mengatur tentang program rudal balistik Iran dan perannya dalam konflik di kawasan.

Trump menghendaki agar JCPOA dinegosiasikan ulang. Namun, Iran dengan tegas menolak hal tersebut. Setelah melewati proses alot, Washington akhirnya menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sanksi diterapkan secara bertahap dan membidik beberapa sektor strategis Iran, seperti energi dan keuangan.

Pada Mei lalu, Iran pun menyatakan akan menangguhkan satu per satu komitmennya dalam JCPOA setiap 60 hari. Menurut Teheran, langkah tersebut hanya dapat dicegah jika para negara peserta yang tersisa di JCPOA, yakni Inggris, Cina, Rusia, Jerman, dan Rusia, membantunya menghindari sanksi AS, terutama untuk menjual minyaknya.

Menteri Pertahanan Iran Amir Hatami tak menilai bahwa JCPOA mengalami kesenjangan peran. Menurut dia, selama ini negaranya telah sepenuhnya memenuhi komitmen JCPOA dan menjalankan kesabaran yang bertanggung jawab serta strategis. “Amerika yang mencampakkan JCPOA, dan Eropa, sementara mereka tidak meninggalkan perjanjian, praktis tidak melakukan hal lain,” kata dia.

“Republik Islam Iran telah memenuhi komitmennya, dan mulai sekarang, tingkat komitmen kami terhadap JCPOA akan sesuai dengan tingkat komitmen pihak lain. Ini adalah logika Iran yang solid dan dapat diterima,” ujar Hatami.

Perwakilan Permanen Rusia untuk Organisasi Internasional di Wina Mikhail Ulyanov mengatakan negaranya memahami alasan Iran menangguhkan satu per satu komitmennya dalam JCPOA. “Kami memahami langkah-langkah yang diambil (Iran), alasan yang mendorong Iran mengambilnya. Kami menyerukan Iran menahan diri dari tindakan yang lebih lanjut yang dapat memperumit situasi dengan kesepakatan nuklir bahkan lebih,” kata Ulyanov.

Menurut dia, keputusan Iran untuk meningkatkan level pengayaan uranium tak terduga. Sebab ia bertindak secara transparan. Ia menilai IAEA akan memerlukan waktu untuk mengonfirmasi dan mengukur tingkat pengayaan terbaru itu. “Saya berharap ini tidak akan di atas lima persen,” ucapnya.

Sedangkan, Pemerintah China menilai sanksi AS merupakan bentuk intimidasi dan menjadi akar penyebab masalah dengan Iran. Tak hanya hengkang dari JCPOA secara sepihak, Beijing menyebut AS menciptakan lebih banyak hambatan bagi Iran dan pihak terkait lainnya untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut.

“Telah terbukti bahwa intimidasi sepihak telah menjadi ‘tumor’ yang memburuk dan menciptakan lebih banyak masalah serta krisis yang lebih besar pada skala global,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang pada Senin, dikutip New York Times. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement