REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasona H Laoly menegaskan kasus yang menimpa Baiq Nuril bukanlah kasus kecil melainkan sebuah kasus besar yang menyangkut rasa keadilan terhadap korban kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. "Begini ini bukan kasus kecil. Ini adalah menyangkut rasa keadilan yang dirasakan oleh ibu Baiq Nuril dan banyak wanita wanita lainnya. Rasa ketidakadilan orang yang merasa korban tapi dikorbankan. Yang seharusnya korban tapi diperpidanakan," tegas Yasonna di Gedung Kemenkumham, Senin (8/7).
Menurut Yasonna, bila persoalan yang dirasakan Baiq Nuril tidak diberikan kesempatan untuk kewenangan konstitusional amnesti, maka ada banyak kemungkinan ribuan wanita-wanita korban kekerasan seksual atau pelecehan tidak akan berani bersuara.
"Karena takut bisa-bisa kalau saya mengadu aku yang dikorbanin karena ini power politik kekuatan wanita biasanya lebih rendah dominasinya secara ekonomi politik, lebih rendah dan biasanya orang-orang berada kekerasan seksual itu kan orang orang yang dimanfaatkan relasi kuasanya. Contoh Baiq Nuril guru honorer lawannya kepala sekolah. Ini yang kami tangkap di sini maka kami akan menyusun pendapat hukum kepada bapak presiden tentang hal ini bahwa kemungkinan yang paling tepat adalah amnesti," tegas Yasonna.
Sebelumnya, Baiq Nuril berencana mengajukan permohonan amnesti setelah Peninjauan Kembali (PK)nya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menyatakan memberikan ruang kepada Baiq Nuril untuk mengajukan upaya amnesti.
Dalam PK-nya, Hakim Mahkamah Agung (MA) memutuskan tetap menghukum Baiq Nuril dengan hukuman penjara selama enam bulan dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.