REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) melalui juru bicaranya Andi Samsan Nganro menyatakan tidak dapat menerima pernyataan Ombudsman RI. Pernyataan tersebut menyebutkan adanya malaadministrasi dalam putusan peninjauan kembali perkara dengan terdakwa Baiq Nuril.
"Kami tidak bisa menerima kalau dikatakan seperti itu, karena Perma Nomor 3 Tahun 2017 itu menyangkut bagaimana penegak hukum dalam hal ini hakim, bersikap dan beracara di dalam menghadapi perkara yang melibatkan perempuan," ujar Andi di Gedung MA Jakarta, Senin.
Andi mengatakan Mahkamah Agung memahami hal tersebut. Namun, ia mengatakan, pasal yang dikenakan kepada Baiq Nuril sebagai terdakwa sama sekali tidak terkait dengan pelecehan seksual, melainkan Undang Undang ITE.
"Perma Nomor 3 Tahun 2017 itu hanya pedoman bagaimana kami, hakim, harus bersikap dalam menangani perkara yang melibatkan perempuan maka tidak boleh mendiskreditkan perempuan," kata Andi.
Andi menjelaskan putusan peninjauan kembali dengan terdakwa Baiq Nuril merupakan dakwaan tunggal yaitu Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 ayat 1 UU ITE. Pasal tersebut mengatur tentang penyebaran atau pendistribusian informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, sehingga dapat dipidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sedangkan perkara mengenai dugaan pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril merupakan perkara tersendiri yang berkasnya tidak dilimpahkan ke pengadilan oleh Polda Nusa Tenggara Barat, karena tidak memiliki cukup bukti.
Pada tanggal 4 Juni 2019, MA melalui putusan dalam upaya hukum peninjauan kembali, menyatakan Baiq Nuril bersalah karena telah menyebarkan informasi atau dokumen elektronik dengan muatan yang melanggar kesusilaan. Putusan itu menegaskan Baiq Nuril tetap harus menjalani hukuman penjara selama enam bulan, dan diharuskan membayar denda sebesar Rp 500 juta.