Pemerintah Australia bertekad memberantas praktek cheating di lingkungan univerisitas, dengan menyasar pihak-pihak yang memberikan bantuan. Mereka yang terbukti membantu mahasiswa melakukan kecurangan akademik akan dipenjara dua tahun atau didenda 210 ribu dolar.
Langkah pemerintah ini diambil melalui Rancangan Undang-undang (RUU) yang ditujukan bagi perbuatan menyediakan atau mengiklankan layanan yang disebut "contract cheating", termasuk website-website yang menawarkan jasa penyelesaian tugas atau menggantikan ikut ujian dengan imbalan biaya.
CEO organisasi perguruan tinggi Universities Australia Catriona Jackson menilai RUU itu diperlukan sebagai peringatan bagi para pelaku cheating.
Namun dia menyoroti adanya aspek yang masih terlalu luas dalam RUU, yaitu larangan terhadap "penyediaan bantuan untuk setiap bagian pekerjaan atau tugas yang harus diselesaikan seorang mahasiswa".
Jackson khawatir hal itu bisa menjadikan orangtua mahasiswa yang mengoreksi esai anaknya, bisa terjerat dalam UU ini.
"Saya kira orang tak menginginkan hal itu terjadi," katanya.
Associate Professor Phillip Dawson dari Pusat Penelitian dan Pengkajian Digital Universitas Deakin setuju bahwa kalimat dalam RUU tersebut masih kabur.
"Jika saya bilang ke mahasiswa, lebih bagus kalau kamu menulis ulang kalimat dalam esaimu dengan cara lain, apakah perbuatan saya itu masuk kategori menyediakan layanan cheating?" katanya.
"Jika seorang mahasiswa memberikan catatannya kepada mahasiswa lain dalam ujian atau seorang kakak membantu adiknya mengerjakan tugas statistik, seharusnya itu bukan kejahatan," ujar Prof Dawson.
Merusak integritas perguruan tinggi
Menteri Pendidikan Australia Dan Tehan menyatakan praktek "contract cheating" itu telah merusak integritas sistem pendidikan tinggi sehingga perlu diberantas.
"Gelar dari universitas Australia sangat berharga dan Pemerintahan Morrison berusaha melindungi investasi dalam pendidikan tinggi serta melindungi sektor mahasiswa internasional kita yang bernilai 35 miliar dolar dengan menindaki kecurangan," katanya.
"RUU ini akan memberikan kewenangan kepada TEQSA (Badan Kualitas dan Standar Pendidikan Tersier) untuk meminta surat perintah Pengadilan Federal untuk mewajibkan penyedia layanan internet memblokir akses ke website domestik dan internasional yang mempromosikan layanan cheating," katanya.
Menteri Tehan mengatakan RUU ini sebenarnya secara eksplisit telah memberikan pengecualian bagi dukungan akademik yang disetujui pihak universitas, misalnya, bantuan menulis bagi mahasiswa disabilitas.
"Saya siapkan RUU ini pada April lalu untuk masa konsultasi dan akan mempertimbangkan masukan-masukan untuk tahap penyelesaiannya," katanya.
"Saya berharap RUU ini akan diajukan ke Parlemen tahun ini juga," ujar Menteri Tehan.
Cheating tambah marak
Presiden Serikat Mahasiswa Nasional Desiree Cai mengatakan praktek "contract cheating" sulit diukur tetapi diyakini semakin meluas.
"Masalah contract cheating mungkin sudah terjadi selama bertahun-tahun, tapi karena penggunaan internet mungkin kini lebih banyak visibilitas layanan yang tersedia," ujarnya.
"Dan bagi mahasiswa yang ingin menggunakannya, lebih mudah untuk mengaksesnya," katanya.
Cai mengatakan mendukung tujuan RUU, yang lebih menarget para penyedia jasa daripada siswa, tapi meminta universitas memberikan dukungan lebih besar dalam mencegah orang cheating.
"Saya kira bagi banyak orang, cheating itu semacam langkah terakhir ketika mereka benar-benar tak tahu harus mencari kemana lagi," kata Cai.
"Dukungan akademik universitas dan dukungan bahasa, khususnya untuk mahasiswa yang lebih rentan seperti mahasiswa internasional, semuanya dapat ditingkatkan," ujarnya.
Catriona Jackson dari Universities Australia menjelaskan sudah menjadi fokus utama bagi kalangan universitas untuk menggunakan kombinasi dukungan dan hukuman dalam mencegah pelaku cheating.
"Jadi, jika Anda ketahuan cheating, ada berbagai hukuman yang diterapkan. Apakah dinyatakan tidak lulus, atau dapat dikeluarkan dari universitas," katanya.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.