REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengajak Presiden Rusia Vladimir Putin mengadakan pembicaraan membahas konflik di Krimea. Hal itu dia sampaikan melalui sebuah video di media sosial yang dirilis, Senin (8/7) malam waktu setempat.
“Mari kita bahas siapa yang termasuk di Krimea dan siapa yang tidak di wilayah Donbass,” kata Zelensky.
Dia mengisyaratkan fakta tentang bantahan Rusia ia telah membantu kelompok separatis di wilayah tersebut dalam memerangi pasukan Ukraina, dikutip laman Aljazirah. Dia menginginkan agar pembicaraan tersebut tak hanya melibatkan dirinya dan Putin.
“Saya menyarankan susunan berikut untuk pembicaraan: Saya, Anda (Putin), Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri Inggris Theresa May, Kanselir Jerman Angela Merkal, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron,” ujarnya.
Susunan tersebut mendorong rencana sebelumnya untuk mengubah format pembicaraan Minsk, yang hanya mencakup Rusia, Ukraina, Prancis, dan Jerman. Moskow sendiri masih ragu untuk merespons ajakan pembicaraan oleh Zelensky.
“Ini format yang benar-benar baru. Kita perlu memahami apakah ada prospek untuk pembicaraan semacam ini, kita perlu memahami format seperti apa yang ditawarkan,” kata juru bicara Kremlin Dmirty Peskov, dilaporkan kantor berita Rusia TASS.
“Ini adalah inisiatif baru. Tentu itu akan dipertimbangkan, tapi saya tidak bisa memberikan tanggapan apa pun sekarang,” ujar Peskov.
Presiden Belarus Alexander Lukashenko menyambut inisiatif yang ditawarkan Zelensky. Dia mengaku siap menjadi tuan rumah untuk pembicaraan tersebut. “Anda tidak bisa saling memandang melalui moncong senjata. Anda harus duduk dan menyelesaikan masalah yang menumpuk,” ucapnya dalam sebuah pernyataan.
Meskipun menyambut baik gagasan untuk menyertakan AS dalam pembicaraan, tapi menurutnya konflik di Krimea memang perlu diselesaikan tiga negara Slavia, yakni Ukraina, Rusia, dan Belarus. “Bukan orang Eropa, bukan orang Amerika, tapi kami (harus menyelesaikan konflik) agar tidak beku mengikuti contoh titik panas lain di ruang pasca-Soviet,” kata Lukashenko.
Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia Viktor Yanukovych. Kerusuhan pun terjadi karena terdapat pula kelompok separatis pro-Rusia di sana.
Belakangan kelompok pro-Rusia itu terlibat konfrontasi bersenjata dengan tentara Ukraina, terutama di Donbass. Pada 2015, Rusia dan Ukraina, bersama Prancis serta Jerman, menyepakati Perjanjian Minsk.
Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah dilaksanakannya gencatan senjata total di wilayah timur Ukraina. Namun, Moskow dianggap tak mematuhi dan memenuhi sepenuhnya perjanjian tersebut. Hal itu menyebabkan Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Uni Eropa.