REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Hukum Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah mengatakan permohonan amnesti terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril kepada presiden bukan kewenangan MA. MA hanya menjalankan tugasnya memberikan hak Baiq Nuril untuk mengajukan upaya hukum.
"Tidak bisa memberikan komentar apa-apa, jadi mau amnesti, mau abolisi, mau apa itu terserah mereka, itu bukan lagi menjadi kewenangan MA," ujar Abdullah saat ditemui di media center MA, Jakarta Pusat, Selasa (9/7).
Abdullah mengatakan berdasarkan surat dari Polda Nusa Tenggara Barat, penyelidikan atas laporan Baiq Nuril mengenai dugaan pelecehan seksual belum bisa dilanjutkan karena alat bukti yang tidak cukup sehingga yang dijadikan dasar tindak pidana merupakan penyebaran data elektronik bermuatan asusila. "Amnesti itu kewenangan kepala negara bukan kewenangan MA, ya silakan kepala negara akan memberikan amnesti atau tidak, itu kewenangannya sendiri," kata Abdullah.
Sebelumnya, Pada Senin (8/7) Baiq didampingi kuasa hukumnya, Joko Jumadi, dan politikus PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di kantor Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta Selatan. Pertemuan tersebut membahas perihal langkah hukum lebih lanjut berupa permohonan amnesti kepada presiden Joko Widodo, setelah sebelumnya upaya hukum berupa peninjauan kembali yang diajukannya pada awal Januari 2019 ditolak Mahkamah Agung.
Usai pertemuan tersebut, Yasonna mengatakan bila permohonan amnesti Baiq Nuril tidak dikabulkan, ratusan ribu wanita Indonesia yang juga korban pelecehan seksual akan takut melapor. "Yang kita khawatirkan kalau ini tidak dilakukan maka mungkin ada ratusan ribu perempuan Indonesia korban kekerasan seksual tidak akan berani lagi bersuara atau memprotesnya, jadi ini harus kita lakukan," ujar Yasonna di kantor Kemenkumham RI, Senin.